Sih Natalia, Mahasiswi Sorbonne University Prancis: Kuliah di LN Bukan Piknik

Sih Natalia Sukmi, mahasiswa Ph.D Sorbonne University, Prancis. (Youtube)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Menempuh studi di luar negeri, apalagi diterima di universitas bergengsi seperti Sorbonne University, Prancis, tentu sangat membanggakan. Namun, kebanggan itu bukan merupakan tujuan apalagi akhir dari perjalanan.

Seseorang yang memutuskan untuk menempuh kuliah di luar negeri, sedari awal sudah harus merumuskan apa tujuannya setelah selesai nanti kuliah dan apa yang akan dicapai.

“Hal itu penting karena akan mempengaruhi persiapan dan perjalanan studi kamu. Sebab harus diingat, sekolah (di LN) itu bukan piknik, yang hanya dijalani satu minggu. lalu setelah kita merasa fresh, bisa kembali ke kehidupan nyata kita. Sekolah itu bagian dari hidup kamu. Dia adalah kehidupan itu sendiri,” kata Sih Natalia Sukmi, mahasiswa Ph.D Ilmu Komunikasi di Sorbonne University, Paris. dalam webinar bertajuk “Studi di Prancis” yang diikuti puluhan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), 29 Juni lalu.

BACA JUGA:

Webinar yang diselenggarakan Warung Prancis UKSW ini juga menghadirkan Penanggung jawab Campus France Yogyakarta, Andraine Arkenzi Febreinza sebagai narasumber. Rekaman webinar tersebut dapat disaksikan lewat channel Youtube Warung Prancis UKSW.

Natalia yang adalah dosen Fakultas Ilmu Komuniasi UKSW itu mengatakan ia sering bertemu dengan anak-anak muda yang berkata ingin sekolah di luar negeri dan ingin kuliah di Prancis. Namun, sering tidak dapat menjawab apa tujuannya ingin kuliah di luar negeri.

“Kadang-kadang lupa, ada yang bilang ‘aku ingin sekolah di Prancis.’ Yang saya tanya kepadanya adalah ‘kamu pengen jadi apa. Goal kamu apa, pengen sekolah ke Prancis. Habis itu mau ngapain,'” kata dia, yang dalam webinar ini memberi judul paparannya, My Ph.D Diary.

Kuliah di Prancis, berdasarkan pengalaman Natalia maupun hasil dari percakapannya dengan teman-teman sesama mahasiswa di sana, membutuhkan persiapan mental yang kuat. “Sebab akan up and down banget,” kata dia.

“Saya dengar dari teman-teman yang sudah masuk tahun kedua di sini, mereka stres, bagaimana mereka sudah mengerjakan tugas siang dan malam tetapi berhadapan dengan dosen yang bilang (lain). Nah, kalau kita tidak punya grand goal yang mau kita raih, ini menjadi riskan sekolahnya. Sehingga jika ingin sekolah di luar negeri, apa sih yang mau diambil? Goalnya apa?,” kata Natalia, yang memulai kuliahnya di Prancis pada November tahun lalu.

Bila sudah menemukan tujuan, kata Natalia, barulah persiapan untuk kuliah di luar negeri dilakukan. Pilihan mengenai jurusan dan universitas, ditentukan berdasarkan tujuan tersebut. Dalam hal ini, passion sangat penting. “Setiap orang pasti punya. Itu yang harus kita kejar. Itu yang akan membuat kita punya energi berjuang. Sekali lagi, saya tekankan studi itu bukan hanya pikinik,” kata Natalia.

Selanjutnya, untuk mahasiswa program S3 seperti dirinya, kata Natalia, persiapan lain yang harus dilakukan dengan serius ialah membuat proposal penelitian yang benar-benar kuat. Ini tidak diherankan karena program S3 di Prancis sangat menekankan riset.

“Kita harus benar-benar mempersiapkan ini. Profesor kita tidak akan bisa dibohongi kalau kita tidak punya track penelitian atau CV yang jelas. Proposal kita harus kuat karena ia merupakan hal yang benar-benar milik kita yang tidak bisa dicuri. Jadi kalau mau studi S3 track penelitiannya sudah harus dibangun. Tidak bisa dalam tempo bulanan. Karena profesor akan melihat dari track atau CV kita,” kata Natalia.

Persiapan selanjutnya adalah adalah menemukan supervisor atau promotor. Lagi-lagi, supervisor tersebut akan mendasarkan keputusannya pada track dan CV mahasiswa yang akan dibimbingnya.

“Apakah sesuai yang dia inginkan atau tidak. Sering mahasisa S3 sudah punya bayangan tertentu tentang penelitiannya, tetapi profesor yang ada di sini mungkin sudah memiliki grand design yang sudah mereka bangun. Dan kita harus pintar-pintar bikin intersection antara proposal kita dengan grand design tersebut.”

Menemukan supervisor yang tepat juga menentukan untuk memberikan rekomendasi memperoleh beasiswa. Menurut Natalia, ada beberapa cara untuk menemukan supervisor yang mendukung.

“Kalau kita membaca saran-saran di internet, biasanya disarankan pencarian supervisor dilakukan melalui perkenalan dari awal. Kirim email, lalu kita memperkenalkan diri dan menjelaskan CV dan proposal. Tetapi ada cara yang kedua. Kalau menurut saya, bisa dengan kerja bareng. Bagaimana kita bisa masuk ke satu frekuensi dimana profesor itu bekerja. Dan dari situ kita kasih lihat apa kemampuan kita,” kata Natalia.

“Misalnya profesor saya. Dia tidak terlalu interes dengan CV seseorang. Tetapi saya cukup beruntung pernah bekerja dengan dia. Sehingga saya punya ruang untuk memperlihatkan skill saya. Dan kebetulan saja saya ‘berjodoh.’ Dan dia mau menjadi pembimbing saya,” lanjut dia.

Hal lain yang juga perlu dipersiapkan adalah linearitas jurusan yang akan ditempuh dengan jurusan yang sebelumnya sudah diselesaikan di Indonesia. Dalam hal ini, Natalia menilai perlunya fleksibilitas dan fikiran terbuka dalam menempatkan linearitas tersebut.

“Kalau menurut saya pribadi, yang namanya linearitas itu idealnya kan ketika saya melakukan riset sesuai dengan bidang kajian saya. Tetapi, misalnya saya yang dari Ilmu Komunikasi, apakah nanti melakukan riset harus mengenai Komunikasi, tidak juga. Itu sebenarnya bisa apa saja. Karena kalau kita mau jadi Ph D dan hanya fokus pada satu bidang saja dan nggak mau open minded bidang lain, kompleksitas masalah yang kita bangun di propoisal akan jadi sedikit dangkal. Karena itu perlu membuka diri dan belajar hal baru,” kata Natalia.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*