JAKARTA, KalderaNews.com — Banyak orang Indonesia yang membayangkan kota Paris sebagai kota romantis. Waktu berjalan begitu lambat. Seakan dunia berhenti berputar ketika menikmati keindahannya. Semua hal seakan mau menunggu.
Barangkali itu hanya berlaku untuk mereka yang jatuh cinta. Testimoni Sih Natalia Sukmi, mahasiswa Ph.D di Sorbonne University, Paris, justru sebaliknya.
Menurut dia, ritme hidup di Prancis sangat cepat. “Jalan kaki saja orang Prancis cepat-cepat. Di awal saya datang ke sini, kalau saya jalan (bersama mereka) selalu saya ketinggalan. Saya yang di belakang. Sekarang sudah tidak lagi,” kata Sih Natalia Sukmi, mahasiswa Ph.D Ilmu Komunikasi di Sorbonne University, Paris. dalam webinar bertajuk “Studi di Prancis” yang diselenggarakan Warung Prancis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), 29 Juni lalu.
BACA JUGA:
- Kuliah S1 ke Jerman Tetap Mudah, Meski Kamu Lulus SMA/SMK Tanpa UN
- AS Akhirnya Batalkan Aturan Imigrasi yang Haruskan Mahasiswa Asing Kuliah Tatap Muka
- Universitas Kristen di AS Minta Aturan Imigrasi untuk Mahasiswa Asing Dibatalkan
Tidak hanya dalam hal berjalan kaki orang Prancis cepat-cepat. “Ketika makan dan berbicara juga sama. Mereka cepat-cepat,” lanjut dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi UKSW itu.
Natalia mengemukakan hal ini sebagai bagian dari paparannya tentang menempuh studi di Prancis, negara tempatnya bermukim sejak November tahun lalu. Dalam webinar tersebut, Natalia memberi judul paparannya, My Ph.D. Diary.
Ritme cepat hidup orang Prancis, kata Natalia, juga dibarengi dengan sikap disiplin mengelola waktu. Para dosen di Prancis sangat tidak suka dengan mereka yang tidak on time.
“Teman saya cerita, dia janjian dengan dosennya. Dia telat lima menit. Si dosen itu sudah pergi. Ketika dia datangi dan meminta maaf, sang dosen bilang, dia mengira pertemuan tidak jadi. Jadi harus diatur ulang waktunya. Sebab dosen itu berkata dia sudah harus mengerjakan yang lain,” kisah Natalia.
Hal lain dari paparan Natalia ialah perihal perlunya kemampuan mengelola diri sendiri secara mandiri. Kuliah di Prancis sangat bertumpu pada kemampuan si mahasiswa dalam mengelola seluruh sumber daya yang ada padanya, termasuk soal waktu.
“Yes kita harus mengelola diri kita. Ini yang harus jadi catatan buat teman-teman,” kata dia.
Ada kalanya studi Prancis seakan diberikan kebebasan tanpa batas. Dia mencontohkan dirinya yang mengikuti program S3, dengan masa studi tiga tahun. Dia diberi kebebasan mengatur sendiri hendak melakukan apa dalam tempo tiga tahun tersebut. Di satu sisi ini seperti sebuah kesenangan namun di sisi lain, dapat menjadi beban.
“Ada saya dengar cerita dari kampus atau negara lain, bawa mereka sampai tidak sempat tidur karena harus mengerjakan resume paper yang banyak sekali. Di sini bisa ya, bisa tidak. Maksudnya, kita diberikan kebebasan mengatur tiga tahun kita. Kita mau kayak apa kerjanya, itu tergantung kita, hanya saja kita harus kasih laporan ke profesor kita. Bagaimana sistem kerja kita, kita yang tentukan. Problemnya, adalah kalau kita tidak bisa mengelola, dan tiba-tiba saja sudah berlalu satu tahun dan idak merasa bikin apa-apa. Dan tiba-tiba waktunya sudah habis,” tutur Natalia.
Dalam kaitan ini, Natalia menyarankan perlunya sikap realistis dalam mengatur waktu dan menetapkan target. Waktu yang tersedia harus benar-benar diperhitungkan sesuai dengan kapasitas yang ada.
Lagi-lagi Natalia mengambil contoh program Ph.D. yang dia ikuti yang sangat menekankan riset. Natalia berpendapat jangan sampai riset yang dipilih tidak sesuai dengan sumber daya yang ada sehingga waktu yang tersedia tidak cukup untuk mengerjakannya.
“Ada hal menarik yang dikatakan oleh profesor saya. Dia bilang, ‘Ph D adalah bagian dari karier kamu. Jadi selama tiga tahun ini harus realistis, apa yang bisa dikerjakan selama waktu itu. Bolehlah kamu menginginkan penelitian kamu akan jadi maspterpiece kamu, Namun kamu harus memikirkan juga bahwa tiga tahun harus selesai.’ Seringkali ada ego si peneliti, semua data ingin dimasukkan dan dianalisis,” kata Natalia.
Di bagian lain paparannya, Natalia membagikan pengamatannya tentang keseharian orang Prancis yang unik. Misalnya tentang penghargaan yang tinggi akan privasi.
“Jika kamu nongkrong dengan teman-teman lalu foto-foto, tidak selalu harus diunggah di medsos. Hati-hati. Karena ada beberapa yang tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Yang namanya kumpul-kumpul tidak harus dipublish,” kata Natalia.
Sementara dalam pemisahan antara relasi pribadi dan profesional juga banyak hal penting yang perlu dicatat. Pemisahan ini sangat dipegang serius oleh orang Prancis sehingga seseorang tidak boleh cepat-cepat baper.
“Jika profesor kamu berkata, dia tidak suka dengan metode penelitian yang kamu pilih, ya sudah, itu adalah dalam konteks profesional. Tidak berarti dia tidak suka sama kamu secara personal.”
“Ada juga teman yang ditegur oleh temannya karena dia berbicara terlalu keras. Ya sudah terima saja, jangan baper. Itu bukan berarti dia tidak suka dengan kamu, tetapi dia tidak suka hanya ketika kamu berbicara keras. Hanya di poin itu saja dia tidak suka,” kata Natalia.
Ia mengatakan orang Prancis menyukai keterus-terangan, speak up bila ada masalah.
Natalia juga mencatat sikap orang Prancis yang menghargai dan memberi makna kepada hal-hal kecil dalam kehidupan, sehingga tidak semua hal dinilai dari sudut materi.
Dia menunjuk contoh kemajuan industri bakery di Prancis.”Mereka melihat sesuatu itu dari art-nya. Di Indonesia pembuat sepatu atau pembuat roti kita sebut tukang. Tukang sepatu atau tukang roti. Di sini mereka disebut seniman.”
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply