JAKARTA, KalderaNews.com – Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) resmi menarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud.
Diketahui, Program Organisasi Penggerak (POP) adalah program “Merdeka Belajar” Mendikbud, Nadiem Makariem. Program ini menyediakan dana sebesar Rp595 miliar per tahun bagi organisasi masyarakat yang lolos menjadi fasilitator program ini.
Dana yang digelontorkan terbagi dalam tiga kategori: Gajah, Macan, dan Kijang. Kategori Gajah wajib memiliki target minimal 100 sekolah dan bakal mendapat hibah maksimal Rp20 miliar, kemudian kategori Macan berkisar antara 21 sampai 100 sekolah dengan hibah maksimal Rp5 miliar dan Kategori Kijang 5 hingga 20 sekolah dengan hibah maksimal Rp1 miliar pertahun.
BACA JUGA:
- Kurikulum Program MBA SGU Selalu Tanggap dan Update Situasi Terkini
- Teknologi dan Inovasi Keuangan: Evolusi Bisnis Perbankan
- Rahasia dan Trik Menyiasati Restrukturisasi Pinjaman Bank buat Pengusaha di Tengah Pademi Covid-19
- Buruan, 75 Beasiswa Master (S2) Double Degree Swiss German University Tutup 15 Juni 2020
- Inilah Keunggulan Program Double Degree MM-MBA di Swiss German University
- Inilah Dampak dan Peluang Bisnis dari Covid-19 bagi Sektor Industri di Indonesia
Program ini kontroversial karena hasil seleksi meloloskan dua yayasan yang terafiliasi ke perusahaan-perusahaan besar seperti Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation. Kedua entitas itu bahkan masuk dalam kategori Gajah, yang bisa mendapatkan hibah hingga Rp 20 miliar per tahun.
Tak hanya itu saja, ada banyak juga entitas baru di dunia pendidikan yang lolos seleksi program, padahal tidak jelas rekam jejaknya.
Lantas kenapa NU, Muhammadiyah dan PGRI memilih mundur dalam program ini?
Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama
Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Arifin Junaidi mempermasalahkan proses seleksi yang dinilainya kurang jelas. Alasan lain yang disampaikannya, yakni Lembaga Pendidikan Ma`arif NU sedang fokus menangani pelatihan kepala sekolah dan kepala madrasah di 15 persen dari total sekolah/madrasah atau sekitar 21.000 sekolah/madrasah.
Kiai yang akrab disapa Arjuna ini menilai bahwa POP Kemendikbud itu dari awal sudah janggal. Ia mengaku pihaknya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan. Entah kenapa, pihak Kemendikbud pun menghubungi kembali LP Ma’arif NU untuk melengkapi syarat-syarat. Saat itu LP Ma’arif NU diminta menggunakan badan hukum sendiri bukan badan hukum NU.
Keesokan harinya Kemendikbud kembali meminta surat kuasa dari PBNU. Padahal syarat itu tak sesuai dengan AD/ART. LP Ma’arif NU terus didesak pihak Kemendikbud.
Pada Rabu, 22 Juli 2020 LP Ma’arif NU mendadak dihubungi untuk mengikuti rapat koordinasi. Padahal ketika itu belum ada surat keterangan penetapan program Kemendikbud tersebut.
“Saya tanya rakor apa, dijawab rakor POP, saya jawab belum dapat SK penetapan penerima POP dan undangan, dari sumber lain kami dapat daftar penerima POP, ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP.”
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno mengatakan Muhammadiyah memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020.
Pihaknya juga melihat kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Selanjutnya, Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dengan berbagai pelatihan, kompetensi kepala sekolah dan guru melalui program-program yang dilaksanakan Muhammadiyah sekalipun tanpa keikutsertaan Muhammadiyah dalam Program Organisasi Penggerak ini. Kasiyarno pun meminta agar Kemendikbud meninjau ulang Program Organisasi Penggerak (POP) tersebut.
“Setelah kami ikuti proses seleksi dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI dan mempertimbangkan beberapa hal, maka dengan ini kami menyatakan mundur dari keikutsertaan program tersebut,” ujarnya.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
Melalui Rapat Koordinasi bersama Pengurus PGRI Provinsi Seluruh Indonesia, Perangkat Kelengkapan Organisasi, Badan Penyelenggara Pendidikan dan Satuan Pendidikan PGRI, Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengumumkan PGRI mundur karena kriteria pemilihan dan penetap POP tidak jelas. PGRI juga memandang dana POP sebesar Rp 595 miliar per tahun akan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastuktur di daerah khususnya di daerah 3T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat pandemi.
Berikut 5 (lima) poin pertimbangan PGRI mundur sebagai peserta Organisasi Penggerak Kemendikbud:
- Pandemi Covid-19 datang meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan termasuk dunia pendidikan dan berimbas pada kehidupan siswa, guru, dan orang tua. Sejalan dengan arahan Bapak Presiden RI bahwa semua pihak harus memiliki sense of crisis, maka kami memandang bahwa dana yang telah dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3 T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di era pandemi ini.
- PGRI memandang perlunya kehati-hatian dalam penggunaan anggaran POP yang harus dipertanggungjawabkan secara baik dan benar berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah. Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, kami berpendapat bahwa program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari.
- Kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas. PGRI memandang bahwa perlunya prioritas program yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan (Continuing Professional Development).
- PGRI sebagai mitra strategis Pemerintah dan pemerintah daerah berkomitmen terus membantu dan mendukung program pemerintah dalam memajukan Pendidikan Nasional. Saat ini PGRI melalui PGRI Smart Learning & Character Center (PGSLCC) dari pusat hingga daerah berkonsentrasi melakukan berbagai program peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pengawas yang dilakukan secara masif dan terus menerus khususnya dalam mempersiapkan dan melaksanakan PJJ yang berkualitas.
- PGRI mengharapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh pada pemenuhan kekosongan guru akibat tidak ada rekrutmen selama 10 tahun terakhir, memprioritaskan penuntasan penerbitan SK Guru Honorer yang telah lulus seleksi PPPK sejak awal 2019, membuka rekrutmen guru baru dengan memberikan kesempatan kepada honorer yang memenuhi syarat, dan perhatian terhadap kesejahteraan honorer yang selama ini mengisi kekurangan guru dan sangat terdampak di era pandemi ini.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply