BANDUNG, KalderaNews.com – Dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Dr. Niken Savitri, S.H., MCL menegaskan cyberbullying merupakan salah satu bagian dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Jenis-jenis KBGO diantaranya adalah pelanggaran privasi, menguntit, merusak reputasi/kredibilitas, melakukan pelecehan, ancaman, kekerasan, intimidasi, meretas situs, revenge porn, dan merubah gambar.
Banyak sekali dampak yang akan dirasakan korban. Secara psikologis korban akan merasa takut, cemas, hilang percaya diri, depresi, hingga bunuh diri. Keterasingan sosial, kerugian ekonomi, bahkan keterbatasan mobilitas tak jarang pula dirasakan oleh korban.
Dikutip dari situs resmi Unpar ia menegaskan hukum di Indonesia memang sudah melindungi korban KBGO dengan berbagai Undang-Undang contohnya KUHP pasal 310 dan 315 tentang Penghinaan, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Permendikbud No 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Pendidikan.
BACA JUGA:
- Kuliah S1 ke Jerman Tetap Mudah, Meski Kamu Lulus SMA/SMK Tanpa UN
- AS Akhirnya Batalkan Aturan Imigrasi yang Haruskan Mahasiswa Asing Kuliah Tatap Muka
- Universitas Kristen di AS Minta Aturan Imigrasi untuk Mahasiswa Asing Dibatalkan
- Mahasiswa Asing di AS Terancam Dideportasi bila Tidak Mengikuti
Namun pada kenyataannya, pasal dalam KUHP tidak dapat mencakup semua perbuatan terkait KBGO. Pasal-pasal tersebut tidak secara khusus diperuntukkan bagi KBGO dan merupakan delik aduan. UU Perlindungan Anak dan Permendikbud pun hanya memberikan pengaturan kewajiban perlindungan yang melibatkan banyak stakeholder.
“Sosialisasi seharusnya dilakukan khususnya terhadap penegakan hukum dalam mengubah paradigma umum tentang KBGO dan pendekatan baru terhadap korban KBGO,” usul Niken di webinar bertajuk “Cyberbullying pada Perempuan: Tantangan pada Pandemi dan Work From Home” pada Senin, 14 Juli 2020 lalu.
Di lingkungan kerja, meskipun tengah diberlakukan WFH, pelecehan seksual terhadap perempuan kerap kali terjadi melalui media daring. Hal ini diungkap oleh CEO dan Founder Bully, Agita Pasaribu.
Hasil survei dari 351 responden menyatakan bahwa 86 orang merupakan korban pelecehan seksual selama WFH, 68 orang menyaksikan pelecehan seksual, dan 30 orang pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual (Never Okay Project dan SAFENet, 2020).
Berdasarkan hasil ini terlihat 85% perusahaan belum punya kebijakan pelecehan seksual selama WFH. Mayoritas korban juga tidak melaporkan kasusnya ke HRD dikarenakan korban tidak percaya HRD akan berpihak untuk melindunginya atau merasa HRD tidak akan melakukan apapun. Dari banyaknya laporan yang masuk, korban acap kali merasakan tekanan, anxiety, dan takut kehilangan pekerjaan.
Dalam hal ini Nefa menyarankan perusahaan merancang berbagai inisiatif atau strategi terkait pelecehan seksual terutama edukasi bagi para karyawannya. Adanya platform agar HRD dapat mengetahui apa yang terjadi dengan korban secara anonymous nampaknya perlu disiapkan oleh perusahaan agar cyberbullying teratasi secara menyeluruh dalam lingkungan kerja.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply