Oleh Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com — Jim Hansen mengajar kelas lima di sebuah sekolah dasar di Nashua, New Hampshire, Amerika Serikat. Sudah 32 tahun dia menjadi guru.
Sepuluh tahun lalu, untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sebuah desa miskin di Kenya. Ia mengajar di sana dalam sebuah misi yang diinisiasi gereja.
Ia jatuh cinta pada desa di Lembah Mahare di Nairobi itu. Ia juga jatuh cinta pada murid-muridnya. Dan ia berpikir keras mencari cara memotivasi mereka.
“Ini adalah salah satu daerah kumuh terburuk di Kenya,” kata Hansen, mengenang.
“Orang-orang tinggal di gubuk-gubuk yang berdempet dan tidak ada air. Itu adalah tempat yang mengerikan untuk dikunjungi, tetapi saya jatuh cinta padanya,” kata Hansen.
Jika mempertimbangkan betapa terbelakangnya desa itu, Hansen mungkin akan jera dan kunjungan pertama itu akan menjadi kunjungan yang terakhir. Kenyataannya tidak. Sampai saat ini, Hansen sudah lima kali ke Kenya.
BACA JUGA:
- Untar Resmi Jadi Tuan Rumah Pesparawi Mahasiswa Nasional XVI
- Kemendagri Mediasi Kemendikbud dan Pemprov DKI Temukan Solusi Kisruh PPDB
- Nyoman Darta: Kemiskinan Bukan Penghalang untuk Sukses
- Mahasiswa Bisa Belajar pada Siapa Saja, Jokowi: Tidak Hanya pada Dosen
- Dian Sastro: Karakteristik Anak Tarakanita Itu Tahan Banting
- Kuliah Online Dipermanenkan, Begini Kata Presiden Jokowi dan Mas Menteri Nadiem
Bagian yang paling menarik dari kisah yang saya baca di situs New Hampshire Union Leader itu ialah cara Hansen menggugah murid-muridnya. Dia menyentuh hati anak-anak itu.
Setiap kali ia datang ke Kenya, ia membawa puisi-puisi yang ditulis oleh murid-muridnya di Nashua. Sebagai imbalannya, para siswa Kenya itu juga ia minta menulis puisi, yang nantinya akan ia bagikan kepada murid-muridnya di Nashua.
“Anak-anak di Kenya senang belajar tentang anak-anak Amerika. Mereka tahu bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan — keluar dari permukiman kumuh,” kata Hansen.
“Yang paling penting adalah membaca apa yang ditulis anak-anak ini dari hati mereka, tentang negara mereka dan rakyatnya. Ini kolaborasi yang bagus,” kata Hansen.
Kisah Hansen menggugah perhatian banyak orang. Ia dinominasikan untuk menjadi salah satu penerima Sanford Teacher Award. Penghargaan ini setiap tahun dianugerahkan oleh National University System (NUS), AS, kepada guru-guru terbaik mereka.
Hansen menang. Ia menjadi satu dari 51 pemenang, dengan hadiah masing-masing US$10.000.
Hansen mengatakan belum pasti kapan lagi akan pergi ke Kenya. Namun dia mengatakan uang penghargaan US$ 10.000 akan berguna membantu mewujudkan perjalanannya ke sana kelak. Dia berharap istrinya akan bergabung dengannya dalam misi berikutnya.
Sanford Award adalah penghargaan untuk para guru di AS, untuk menghormati seorang filantropis bernama T. Denny Sanford, yang memiliki visi luar biasa tentang profesi guru. Penghargaan ini diberikan kepada satu guru dari setiap negara bagian AS plus dari Washington DC. Nama-nama yang masuk diseleksi oleh sebuah komite yang dibentuk untuk itu. Pemenangnya ditentukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan NUS.
Menurut Michael R. Cunningham, chancelor NUS, pemenang Sanford Teacher Award adalah para guru yang memberikan begitu banyak dari diri mereka kepada murid-muridnya, kepada sekolah maupun kepada komunitas mereka, untuk menginspirasi dan mendorong mencapai potensi mereka.
Para guru tersebut membangun kepercayaan diri murid-murid, memberikan kesempatan kepada mereka menyuarakan aspirasi. Lebih dari itu, menciptakan lingkungan inklusif bagi para anak-anak muda tersebut. Singkatnya, mereka adalah para guru itu mendedikasikan dirinya melampaui batas panggilan tugasnya.
Apakah guru seperti ini ada di Indonesia? Banyak. Banyak sekali.
Pekan lalu, misalnya, KalderaNews mengangkat kisah Henrikus Suroto dari Magelang. Di musim pandemi ini, ia menempuh enam jam perjalanan pulang-pergi dengan sepeda motor, untuk memastikan murid-muridnya tetap belajar.
Mungkin desa-desa yang dikunjunginya itu tak ‘semengerikan’ desa-desa di Kenya. Namun Suroto tetap ingin menjangkau anak-anak yang berpotensi tersingkir dari dunia pendidikan akibat kendala internet, bila tak memperoleh bimbingan langsung dari guru.
Sebelumnya KalderaNews juga mengangkat kisah Aris Kukuh Prasetyo, guru dari Semarang. Anak muda ini dinominasikan meraih Global Teacher Prize yang diselenggarakan Varkey Foundation, London. Guru di SD Negeri Delik 02 Semarang, Jawa Tengah itu memulai kariernya di sekolah dasar terpencil di desa Penawangan, di mana mayoritas penduduknya petani.
Aris Kukuh bekerja di kondisi infrastruktur jalan yang buruk dan angka putus sekolah yang tinggi, karena anak-anak harus membantu orang tua. Namun Pak Guru Aris bekerja melampaui panggilan tugasnya. Ia menyelenggarakan program kunjungan rumah dan berhasil merengkuh murid-muridnya sehingga mau kembali ke sekolah.
Di Indonesia para guru kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Apakah sebutan itu berlaku untuk semua guru? Paling tidak kita memiliki contoh nyata, Pak Guru Henrikus Suroto dan Pak Guru Aris Kukuh. Mereka pahlawan bukan karena mengangkat senjata atau menumpas penjahat. Kepahlawanan mereka adalah karena mendedikasikan tenaga melebihi yang diharuskan. Dalam bahasa Inggris, pahlawan sedemikian dijelaskan sebagai “who perform great deeds or selfless acts for the common good instead of the classical goal of wealth, pride, and fame.”
Dulu sekali, sebelum sebagian (tidak seluruhnya) guru kita terlalu disibukkan oleh karier dan urusan sertifikasi jabatan, setiap 17 Agustusmelalui televisi kita diperkenalkan dengan para guru dan kepala sekolah teladan dari seantero negeri. Mereka jadi idola. Sama tenarnya dengan para regu Paskibra.
Namun yang lebih penting dari itu ialah mereka tak hanya diberi peran seremonial. Setelah terpilih sebagai guru teladan, mereka menjadi role model di daerah tempat mereka bekerja. Secara periodik mereka juga dipindahtugaskan untuk menularkan keteladanan mereka ke daerah-daerah lain.
Belakangan ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar program Guru Penggerak. Menurut situs resmi Kemdikbud, program tersebut bertujuan memajukan pendidikan Indonesia dengan menciptakan pembelajaran yang berpusat pada murid dan menggerakkan ekosistem pendidikan yang lebih baik.
Kita berharap program ini dapat mencapai tujuannya. Dan role model untuk guru semacam itu tidak diciptakan di ruang seminar atau di webinar, atau di tempat-tempat diskusi berpendingin, di gedung-gedung yang wangi dan dihuni oleh para pria dan wanita parlente.
Role model untuk guru ditemukan di lapangan. Dalam praktik. Seperti Jim Hansen. Seperti Henrikus Suroto. Seperti Aris Kukuh Prasetyo. Mereka adalah guru-guru yang bertungkus lumus bersama dan di tengah murid-muridnya. Profil guru semacam ini yang harus mendominasi sekolah-sekolah kita.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply