ACICIS, Program Studi Indonesia yang Sangat Diminati Mahasiswa Australia, Terancam Dihentikan

Dr Kelli Swazey dalam sebuah kegiatan ACICIS di Indonesia. Swazey adalah Academic Program Officer Sustainable Tourism Professional Practicum (STPP) ACICIS Januari-Februari 2020. STPP adalah program yang ditawarkan kepada mahasiswa Australia untuk menjalani dua pekan program akademis di Indonesia, termasuk kursus intensif Bahasa Indonesia dilanjutkan dengan praktik di organisasi atau perusahaan pariwisata dan perhotelan setempat. (ACICIS)
Sharing for Empowerment

 JAKARTA, KalderaNews.com — ACICIS, sebuah program studi tentang Indonesia yang sangat popular di kalangan mahasiswa Australia terancam ditutup karena kesulitan keuangan yang diakibatkan pandemi COVID-19 dan penutupan penerbangan dari Australia ke Indonesia.

ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) sejak tahun 1994 telah memfasilitasi lebih dari 3000 mahasiswa Australia untuk belajar di sejumlah universitas di Indonesia. Diinisiasi oleh peneliti Australia yang banyak melakukan studi tentang Indonesia, Prof David Hill, ACICIS mengatasi hambatan akademik, birokrasi, dan imigrasi untuk memudahkan mahasiswa Australia melakukan studi beberapa semester di universitas-universitas di Indonesia.

Namun, menurut Direktur ACICIS, Liam Prince, dalam siaran persnya di laman resmi konsorsium ini, masa depan program yang bersejarah ini kini berada dalam ancaman. Ini dikarenakan pandemi COVID-19 dan dihentikannya perjalanan internasional ke Indonesia.

Bulan Maret lalu mahasiswa Australia yang mengikuti program ACICIS terpaksa dievakuasi dari Indonesia. Sejak itu, ACICIS telah diterpa serangkaian pembatalan program. Sebagai akibatnya, sebagian besar pendapatan konsorsium ini menyusut sepanjang tahun 2020.

BACA JUGA:

Prince mengatakan, jika pelarangan perjalanan internasional mahasiswa Australia ke Indonesia tetap berlangsung hingga tahun 2021, akumulasi kerugian pendapatan mereka akan berdampak berat. Itu akan cenderung memaksa konsorsium universitas yang sudah berusia 25 tahun ini tidak akan dapat lagi beroperasi pada bulan Oktober mendatang.

Bagi Australia, ACICIS selama ini dipandang sebagai salah satu kunci sukses kehadiran New Colombo Plan (NCP) dari Departmenf of Foreign Affair Trade (DFAT) di Indonesia, yang digagas oleh Menteri Luar Negeri Australia ketika itu, Julie Bishop. NCP telah mendorong puluhan ribu mahasiswa Australia untuk melanjutkan studi di negara-negara Indo-Pasifik selama enam tahun terakhir, termasuk di Indonesia.

Sejak peluncuran inisiatif tersebut pada tahun 2014, ACICIS telah mendapatkan pendanaan lebih dari A$12 juta dalam kerangka NCP untuk mendukung lebih dari 2.500 mahasiswa dari 23 universitas di Australia untuk belajar di Indonesia. Sebelum tahun 2014, Indonesia hanya menampung beberapa ratus mahasiswa Australia setiap tahun.

Dengan pendanaan NCP serta infrastruktur yang difasilitasi oleh ACICIS, menurut Prince, popularitas Indonesia sebagai tujuan studi di kalangan mahasiswa Australia telah meningkat dengan mantap. Menurut angka terbaru yang diterbitkan oleh Australian Universities International Director’s Forum (AUIDF), hampir dua ribu mahasiswa Australia belajar di Indonesia pada tahun 2018. Ini menjadikan negara tetangganya ini tujuan paling populer nomor tujuh bagi warga Australia. Indonesia masih berada di belakang China, AS, dan Inggris, tetapi berada di atas negara-negara lain, seperti Kanada dan Jerman.

Ada 25 universitas Australia yang tergabung dalam konsorsium ini, termasuk Monash University dan Univesity of Melbourne. Sementara universitas penerima di Indonesia meliputi Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya, IPB, Universitas Sanata Dharma, Universitas Udayana, Universitas Satya Wacana, Universitas Muhammadiyah, Universitas Parahyangan, dan Universitas Islam Indonesia.

“Penghentian aktivitas ACICIS yang disebabkan oleh pandemi ini sangat menyakitkan mengingat jumlah mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia belum pernah sebanyak beberapa tahun terakhir,” kata Liam Prince.

“Kami telah membuat kemajuan dalam menciptakan pertukaran siswa dua arah yang tulus antara Australia dan Indonesia. Akan memilukan ketika pandemi menghambat momentum ini dan membalikkan manfaat ini,” tambah Prince.

Prince mengatakan pihaknya kini sedang mencari berbagai cara untuk dapat melanjutkan operasi konsorsium. “Kami sedang berdiskusi dengan kolega kami di DFAT, Departemen Pendidikan Commonwealth, dan tentu saja, konsorsium anggota universitas,” kata Prince,

Selain itu, ACICIS juga telah meluncurkan kampanye penggalangan dana publik, bertujuan untuk meminta bantuan keuangan dari jaringan besar alumni ACICIS, yang banyak di antaranya sekarang memegang posisi penting di pemerintah Australia, akademisi, media, dan perusahaan swasta.

Penggalangan dana ini bertujuan untuk mengumpulkan $ 150.000 untuk membantu melestarikan infrastruktur inti organisasi di Australia dan Indonesia hingga operasi normal dapat dilanjutkan. Kampanye penggalangan dana ACICIS akan berjalan sepanjang Juni dan bagi yang memerlukan informasi dapat mengunjungi tautan https://www.acicis.edu.au/acicis-fundraising-appeal/

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*