Dua Mujizat Membaca Buku, Sudahkah Kamu Mengalaminya?

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Surat kabar The New York Times  sekali waktu membuat semacam jajak pendapat. Mereka meminta pembaca menyebut judul buku yang mengubah hidup mereka.  

Respons yang muncul tidak terduga. Bukan hanya dari 10 atau 100 pembaca. Melainkan 1.300. Lengkap dengan kisah-kisah unik. Bercerita tentang bagaimana ‘kuasa’ kata-kata  menjadikan mereka pribadi yang berbeda.

Beth Krugman, misalnya, mengisahkan pengalamannya di masa muda. Ketika usianya baru 21 tahun.  Ia pengantin baru. Tinggal di New York, sebuah kota yang asing baginya. Lalu ia  menyadari bahwa dirinya hamil. Dan perusahaan tempatnya bekerja memecatnya.

BACA JUGA:

Dalam keadaan gamang dan frustrasi, ia dikirimi sebuah buku oleh mantan atasannya, “Mastering the Art of French Cooking.” Seperti judulnya, buku itu tentang masak-memasak.

Cemas, bosan dan tanpa teman di rumah, buku itu menggerakkan Beth ke dapur. Lalu ia mulai mengerjakan sesuatu. Memotong ini, mengiris itu.

Dan ‘mujizat’ terjadi. Buku itu, dalam perjalanan hidupnya, sudah seperti ‘kitab suci’ tentang memasak. 

Beth belajar banyak teknik mengolah makanan dari buku itu. Ia memperkenalkan makanan-makanan baru kepada keluarganya. Ia bahkan mampu mengubah pola makan mereka

Berapa jam kamu membaca buku dalam seminggu? Berapa buku yang kamu baca dalam sebulan?

Jika kamu seorang mahasiswa yang sedang menginginkan beasiswa, atau fresh graduate yang sedang menginginkan pekerjaan, jangan kaget bila sewaktu-waktu akan mendapatkan pertanyaan demikian.  Dan bersiaplah.

Sahabat saya, saat ini bekerja sebagai eksekutif sebuah bank, berkisah, salah satu pertanyaan yang ditujukan kepadanya dulu ketika diwawancarai untuk diterima di perusahaan itu adalah buku apa yang dibacanya. Berapa banyak buku yang dibacanya dalam satu bulan. 

Lalu ia menjawab pertanyaan itu. Dengan lancar ia mengisahkan sinopsis  buku-buku yang dibacanya. Si pewawancara rupanya terkesan. Dan ia diterima.

Bill Gates mengatakan buku selalu menjadi sumber inspirasi baginya. Dan barangkali itu juga yang menyebabkan banyak orang menilai orang lain dari buku yang dibacanya. Termasuk ketika menentukan seseorang diterima bekerja di sebuah perusahaan, seperti yang dialami sahabat saya tadi.

Pendiri Microsoft itu mengatakan rata-rata membaca 50 buku dalam setahun. Buku yang ia anggap baik, ia rekomendasikan kepada teman-temannya. Ia senang bila buku yang dibacanya juga dibaca banyak orang.

Sejak tahun 2014, lewat blognya, dua kali dalam setahun – musim panas dan musim dingin – Bill Gates mengumumkan buku-buku yang ia rekomendasikan untuk dibaca. Buku-buku pilihan Bill Gates biasanya menjadi bestseller.

“Tapi buku-buku bestseller itu mahal. Tak sanggup saya membelinya. Bila demikian, apakah saya akan kalah dari persaingan karena tak sanggup membeli buku-buku hebat?,” mungkin akan ada yang berkata demikian. Dan, ini mengantarkan kita kepada mujizat berikutnya dari buku.

Buku selalu menemukan jalannya untuk mengubah hidup. Don’t judge a book by its cover. Itu tak hanya bermakna metaforis melainkan juga bermakna harfiah.  

Kehebatan buku tidak dinilai dari harganya. Apalagi kemasan sampulnya. Buku-buku yang tampak biasa,  yang ditulis oleh penulis yang belum punya nama, yang mungkin hanya ditemukan di toko-toko kecil,  atau tersimpan di perpustakaan-perpustakaan desa,  sama potensinya mengubah hidup manusia.

Ini dialami oleh Barth Landor,  pembaca The New York Times lainnya. Ketika itu dia masih muda, berumur 21 tahun, tatkala  ayahnya memberinya sebuah buku tebal. Judul bukunya benar-benar tak membuatnya tertarik sama sekali: “Concluding Unscientific Postcript to Philosophical Fragments.” Penulisnya juga tidak ia kenal.

Namun tatkala ia mulai membacanya, secara pelan-pelan, dengan hati-hati, pikirannya terbuka. “Itu mengubah hidup saya,” tulis dia.

Landor mengatakan buku itu menggugah pembaca secara meyakinkan bahwa  tidak ada yang lebih penting daripada keberadaan individu. Penulis buku itu, Soren Kierkegaard (kemudian namanya dikenal sebagai filsuf dan teolog dan dipandang sebagai filsuf eksistensialis pertama) menurut Landor, “adalah seorang ksatria penyendiri yang paling bersemangat memegang pedangnya di hadapan otoritas yang sombong di gereja dan akademi.”

Tampang sampul bukunya yang membosankan, kata Landor, menutupi  kecemerlangan isinya. “Di setiap halaman ada bukti berpikir penulisnya yang luar biasa. Penulisnya tidak terlalu terkenal di luar kalangan Copenhagen (Denmark); bukunya hanya terjual dalam jumlah kecil, dan tidak memenangkan penghargaan apa pun. Tetapi itu tak apa-apa bagi dia. Kierkegaard menunjukkan bahwa untuk mengubah dunia – setidaknya dunia saya – cukup dengan duduk sendiri di sebuah ruangan dengan pinsil, kertas, berfikir dan menulis,” tulis Landor.

Tatkala mewawancarai tokoh-tokoh sukses, wartawan sering mengajukan pertanyaan, “Apa judul buku favorit Anda yang belum pernah dibaca orang?”  Pertanyaan ini, biasanya bertujuan untuk mengarahkan narasumber agar tak memberikan jawaban klise  –misalnya dengan mengutip judul-judul buku popular. Namun ada tujuan lain yang lebih penting, yaitu menggali pengalaman otentik  sang tokoh (bila ada) dalam membaca buku.

Para mahasiswa dan fresh graduate yang akan memasuki dunia kerja, mungkin juga harus bersiap dengan pertanyaan ini. Kemampuan  memberikan jawaban bukan saja akan menjadi bukti keluasaan wawasan. Juga cerminan daya tahan  memusatkan fikiran mencerna gagasan-gagasan mendalam yang disodorkan oleh buku.

Selamat membaca buku, dan mengalami keajaibannya.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*