Lulus dari Yale, Mahasiswa Asal Indonesia Ini Raih Beasiswa Lanjutkan Studi ke Oxford

Ariq Hatibie mahasiswa asal Indonesia lulusan Yale mendapat beasiswa melanjutkan studi di Oxford, (Yale News)
Ariq Hatibie mahasiswa asal Indonesia lulusan Yale mendapat beasiswa melanjutkan studi di Oxford, (Yale News)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Yale University mengumumkan terpilihnya mahasiswa asal Indonesia, Ariq Hatibie, menjadi satu dari sembilan lulusan universitas itu yang memperoleh beasiswa melanjutkan studi di universitas-universitas di Oxford dan Cambridge. Pengumuman nama kesembilan orang itu dipublikasikan oleh Yale News pada 11 Mei lalu.

Ariq Hatibie, yang lahir di Jakarta tetapi besar di Hong Kong, menerima Beasiswa Clarendon untuk studi magister dalam bidang Tata Kelola dan Diplomasi Global (Global Governance and Diplomacy) di Oxford. Ia berharap akan mengeksplorasi pendekatan komparatif oleh lembaga-lembaga regional berdasarkan hukum internasional.

Di Yale, Hatibie mengambil jurusan Masalah-masalah Global (Global Affairs). Proyek penelitiannya yang terakhir menyelidiki rekonsiliasi antara suku Yazidi di Irak Utara setelah genosida 2014 oleh ISIS. Risetnya mendapat penghargaan Capstone Award dari fakultasnya.

Lulus dari Yale dia bekerja di Uni Eropa dan di Kamar Dagang dan Industri AS di Hong Kong. Sedangkan ketika di Yale, Hatibie aktif dalam Alliance for Southeast Asian Students dan menulis untuk Yale Globalist, publikasi resmi mahasiswa dengan fokus pada masalah-masalah internasional.

Profil Ringkas Ariq Hatibie

Dalam wawancara dengan Yale Globalist pada tahun 2016. ketika ia baru diterima di Yale, Ariq menjelaskan latar belakang dirinya yang lahir di Jakarta, namun hanya dua tahun berada di ibukota Indonesia itu. Selanjutnya selama dua tahun ia bermukim di Singapura dan seterusnya tinggal di Hong Kong.

BACA JUGA:

Bagi Ariq, Hong Kong adalah rumah. “Saya menganggap diri saya berasal dari Hong Kong,” katanya, dalam artikel bertajuk An Expat Abroad, yang dipublikasikan pada 28 November 2016.

“Hong Kong adalah kota yang sangat ambisius, dan ambisi itu pasti menular ke saya.”

Pengalamannya di Hong Kong telah memengaruhi Ariq dalam banyak hal, mulai dari bahasa yang digunakannya hingga peluang yang bisa dicarinya.

Ariq belajar bahasa Indonesia terlebih dahulu, tetapi “karena saya tinggal di Hong Kong begitu lama, bahasa Inggris mengambil alih hal itu. Saya akan mengatakan saya memiliki dua bahasa asli, Indonesia dan Inggris, ” kata dia, dalam artikel yang ditulis oleh Sarah Widder.

Nama lengkapnya Taufan Ariq Hatibie, dan ia lebih memilih dipanggil Ariq daripada Taufan.

Di Hong Kong Ariq menempuh pendidikan di sekolah internasional, tempat dia menemukan suasana keberagaman yang di kemudian hari membentuk cara pandangnya.

“Kami memiliki banyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda,” katanya, “jadi itu benar-benar memengaruhi pandangan dunia saya dalam hal bersikap toleran terhadap orang lain.”

Dalam banyak hal, sekolahnya relatif mirip dengan sekolah menengah atas di AS. Sekolahnya tidak mengutamakan IPK, juga tidak menerbitkan peringkat kelas, tetapi masih ada suasana kompetitif secara akademis.

Ada juga budaya mengikuti bimbingan belajar yang lazim untuk tugas sekolah pada umumnya dan ujian standar pada khususnya. “Orang tua berpikir bahwa jika kamu tidak pergi ke tutor, kamu akan gagal. “

Lulus dari sekolah menengah atas di Hong Kong, Ariq berada di persimpangan, antara melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat atau ke Inggris. Ada berbagai pertimbangan untuk melakukan pilihan.

Seperti kebanyakan mereka yang menempuh pendidikan di Hong Kong, ada dorongan yang kuat untuk melanjutkan studi di Inggris. Kuliah di Inggris dinilai lebih menguntungkan dari sisi karier. Universitas-universitas di Inggris mengarahkan mahasiswanya ke jalur karier tertentu dalam tempo relatif cepat. Sementara pada studi Liberal Art di AS memungkinkan lebih banyak kebebasan memilih karier setelah lulus.

Namun pada akhirnya Ariq memilih ke AS karena beberapa temannya membujuknya untuk mencobanya. “Saya pikir, ‘kenapa tidak?’,” kata Ariq dalam wawancara.

Ariq mengakui telah melewatkan kesempatan untuk menjadi pengacara dalam lima tahun demi untuk dapat menjelajahi berbagai jalur di Yale. “Saya mengorbankan sedikit waktu dan juga mengorbankan sedikit kepastian,” katanya.

Ketidakpastian kadang-kadang meresahkan, tetapi Ariq menghayatinya dengan positif. Ketidakpastian adalah bagian dari kesenangan, kata Ariq, dan pilihannya telah memungkinkannya mencoba berbagai peluang baru.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*