Oleh: Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com — Di sebuah forum diskusi online, seorang penulis mengajukan pertanyaan tentang bagaimana cara mencegah cerita tidak menjadi terlalu muram.
“Saya sedang menulis sebuah cerita perang, dan tiap suasana yang tergambar selalu menjadi sedih. Pembaca akan terbawa terlalu dalam. Apakah ada cara yang memberi terang di kegelapan di novel saya?.” tanya dia.
Banyak jawaban yang diberikan. Salah satunya begini. “Temui dan bicaralah dengan para veteran di kehidupan nyata, dan tanyakan bagaimana mereka melewatkan saat-saat perang. Salah satu taktik mereka adalah dengan menciptakan black humor –mereka dapat melihat humor bahkan di saat-saat duka (hal seperti ini juga lazim di kalangan para veteran, penegak hukum, dokter, dan petugas gawat darurat).”
BACA JUGA:
- Pastoralisme Kota Kecil dalam Lagu-lagu Didi Kempot
- Glorifikasi Stafsus Milenial yang Berakhir Tragis
- Stereotip Rasial di Tengah Wabah Covid 19
- Epitome: Tangis Suster China di Tengah Wabah Corona
- Revitalisasi Kosa Kata untuk Tingkatkan Kompetensi Menulis
- Beda Bahasa Politisi dan Peneliti
Jawaban ini menarik. Rupanya memang ada profesi-profesi tertentu yang dapat berfungsi sebagai pencerah hari, pemantik ceria, pencetus tawa. Mereka masih dapat tertawa dalam suasana seburuk apa pun.
Mengapa gerangan para veteran perang, penegak hukum, dokter dan petugas gawat darurat dapat berperan sebagai pemancar terang di saat-saat muram? Barangkali dikarenakan mereka HARUS melakukannya, lalu terbiasa dan terlatih.
Setiap hari mereka berhadapan dengan saat-saat genting, bahkan acap kali harus bersama-sama dengan mereka yang berada di ambang ajal. Dalam suasana yang muram itu, mereka harus dapat bertahan, agar melihat cahaya terang di segala suasana.
Hari ini, hari Rabu kedua di bulan Mei, di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Resepsionis Antarbangsa (International Receptionists Day). Dan ini menjadi hari yang baik untuk mengingatkan kita, bahwa resepsionis juga adalah profesi yang berperan penting sebagai pemantik ceria. Setiap penulis yang kehilangan gagasan untuk memberi warna cerah pada suasana ceritanya, barangkali harus berbicara dengan para resepsionis.
Tidak dapat dibayangkan bila para resepsionis itu tak menampakkan wajah cerahnya. Kantor-kantor akan jadi sendu. Mereka yang datang berkunjung akan terbawa suasana. Seperti pembaca novel perang yang dikeluhkan penanya pada forum diskusi para penulis tadi.
Sudah sangat klasik pernyataan bahwa para resepsionis adalah wajah pertama dari setiap kantor. Dan itu memang benar. Kesan pertama akan muncul dari sapaan dan layanan mereka.
Mereka mengerjakannya sembari berakrobat multitasking. Menerima telepon, mencatat pesan, menghafal wajah tamu, mengkomunikasikan pembatalan atau penundaan rapat, dan pada saat yang sama merapikan dokumen-dokumen.
Tanpa disadari, mereka adalah center of the attention. Tatkala ada keluhan pelanggan, mereka sabar mendengarkan. Ketika ada telepon salah sambung, juga harus dapat memahami.
Mereka harus dapat menerima kehadiran orang dengan aneka perangai dan karakter. Dari driver ojek online yang menitipkan barang hingga relasi direksi dari mancanegara. Pelamar kerja yang menanyakan informasi maupun rekanan yang iseng datang tanpa membuat janji.
Andai semua resepsionis menulis buku, kisah-kisah yang mereka tuliskan pasti akan lincah dari satu karakter manusia ke karakter manusia lainnya yang penuh warna. Seperti Janet Groth, profesor emeritus Sastra Inggris di State University of New York at Plattsburgh. Dalam memoarnya, ia justru lebih menonjolkan kenangannya yang unik dan kadang-kadang nakal ketika selama hampir dua dekade bekerja sebagai resepsionis di majalah AS kenamaan, The New Yorker ketimbang karier akademisnya. Buku memoarnya itu sendiri memakai judul profesi awal yang ditekuninya itu: The Receptionist: An Education at The New Yorker (2012).
Resepsionis sering dipandang sebagai tangga paling awal untuk menapak karier yang lebih tinggi. Semacam profesi sementara atau profesi transit. Carly Fiorina, misalnya, dulu selama enam bulan pernah menjadi resepsionis di sebuah perusahaan real estat sebelum di kemudian hari menjadi CEO Hewlett Packard.
Namun tidak sedikit resepsionis yang sangat mencintai pekerjaannya dan menjadi sangat profesional. Dari satu perusahaan ke perusahaan lain ia bekerja dengan pekerjaan yang sama, menjadikannya sebagai panggilan jiwanya. Dibayar mahal pula.
Apa gerangan yang membuat para resepsionis yang demikian ini dicari? Mengapa mereka tidak dapat digantikan oleh mesin atau robot? Tentu ketrampilan dan keahlian teknis-profesional tidak dapat ditawar. Namun yang tidak kalah penting adalah peran sebagai pencipta terang di tengah suasana muram yang selalu bercahaya di garda terdepan.
Demikian akrabnya kita dengan peran mereka sampai-sampai keceriaan yang mereka ciptakan menjadi terlalu biasa. Sering tak lagi kita pandang sebagai ‘keajaiban.’ Kita menjadi abai terhadap salah satu profesi terpenting di dunia.
Itulah sebabnya sejak tahun 1991, Hari Resepsionis Antarbangsa dirayakan. Agar kita tidak lupa begitu berartinya para resepsionis dan agar mereka bangga pada profesi mereka.
Selamat Hari Resepsionis Antarbangsa.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.
Leave a Reply