Pastoralisme Kota Kecil dalam Lagu-lagu Didi Kempot

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Sang Maestro lagu-lagu campursari Didi Kempot meninggal pada usia 53 tahun hari Selasa, 5 Mei di kota kelahirannya, Solo. Indonesia kehilangan salah seorang seniman berdedikasi dan digemari.

Semasa hidupnya Didi Kempot diketahui menulis sekitar 700 judul lagu. Sebagian besar bertemakan patah hati dan kekecewaan.

Menurut penyanyi dengan nama asli Dionisius Prasetyo itu, ia dengan sengaja menulis lagu dengan tema demikian. Ia meyakini setiap orang pernah mengalami patah hati.

BACA JUGA:

Para penggemarnya menamainya The Godfather of Brokenheart, tuan dari para korban patah hati. Para penggemar itu mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai Sobat Ambyar, para Sadboys dan Sadgirls, galau-wan dan galau-wati yang merasa terwakili oleh lagu-lagu sang maestro.

Lord Didi –demikian penggemarnya memanggilnya — telah menjelma menjadi sang jurubicara para Sadboys dan Sadgirls. Lord Didi memahami dan berempati pada apa yang dirasakan oleh kaum galau-wan dan galau-wati itu. Lord Didi datang sebagai sahabat sekaligus korban. Lagu-lagunya adalah sebuah curahan hati – dan kadang-kadang protes – dari kedudukan sebagai korban.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*