JAKARTA, KalderaNews.com – Tanggal 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional (HPN) untuk menghormati tokoh pendidikan di era kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara (KHD). Ia lahir pada tanggal tersebut. Tepatnya, 2 Mei 1889.
Banyak fakta sejarah yang menarik dan unik di seputar HPN dan KDH, yang belum terungkap atau jarang terungkap. Berikut ini delapan di antaranya.
1.HPN ditetapkan di tahun yang sama dengan meninggalnya KHD.
KHD meninggal di Yogyakarta pada 26 April 1959, seminggu sebelum hari ulang tahunnya yang ke 70. Penetapan hari kelahirannya sebagai HPN dibuat delapan bulan kemudian. Tepatnya pada16 Desember 1959. Hari itu Presiden Sukarno menandatangani Keppres No 316 Tahun 1959, yang menetapkan 2 Mei sebagai HPN.
2. Nama KHD bermula sebagai candaan.
KHD terlahir dengan nama Suwardi Suryaningrat. Lebih lengkapnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman. KHD adalah putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III.
Sebelum mendirikan Sekolah Taman Siswa (3 Juli 1922), ia aktif dalam sebuah forum diskusi yang terdiri atas orang-orang politik, kebudayaan dan filsuf. Dalam diskusi itu Suwardi Suryaningrat menonjol dalam hal ilmu keguruan. Karenanya, suatu kali pemimpin diskusi tidak lagi memanggilnya dengan sapaan akrab Dimas Suwardi, melainkan menjadi Ki Ajar.
Kebiasaan menggunakan panggilan baru itu diikuti oleh semua anggota kelompok diskusi. Awalnya, Suwardi Suryadiningrat menganggapnya sebagai bercanda. Namun rupanya menjadi serius.
3. Menanggalkan gelar kebangsawanan agar bebas dan akrab dengan rakyat jelata.
Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, Suwardi Suryaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
4. Lulusan Sekolah Belanda yang mengeritik sistem pendidikan Belanda.
Salah satu jasa KHD ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa sebagai tempat pendidikan bagi penduduk pribumi biasa. Golongan penduduk ini tidak dapat menikmati pendidikan di sekolah Belanda. Sekolah Belanda pada masa itu diperuntukkan untuk kalangan orang asli Belanda, ningrat dan priyayi.
KHD tidak suka dengan diskriminasi ini. Sejak muda ia adalah pengeritik yang keras terhadap sistem pendidikan Belanda.
Uniknya, KHD sendiri adalah lulusan sekolah Belanda. KHD menempuh pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda) dan kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit.
5. Disusun dengan gaya satire, tulisannya viral dan bikin Belanda marah besar.
Setelah berhenti dari STOVIA karena sakit, KHD bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Di antaranya, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia diakui sebagai penulis andal dengan gaya bahasa komunikatif dan membawa semangat antikolonial.
Banyak tulisan KHD yang mengeritik secara tajam kebijakan Belanda. Namun, yang paling viral adalah sebuah tulisan berjudul “Als ik een Nederlander was”. Tulisan berbahasa Belanda ini artinya, Seandainya Saya Seorang Belanda.
Ketika itu (1913) pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis. KHD menolak niat itu karena menurut dia, tidak patut rakyat dibebani untuk membiayai pesta orang Belanda.
Tulisan bergaya satire itu dimuat di surat kabar De Expres, 13 Juli 1913 dan menjadi viral di kalangan Belanda. Mereka marah besar.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu,” demikian antara lain ia menulis.
Akibat tulisan ini KHD ditangkap, lalu dibuang ke Belanda bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Usianya KHD ketika itu baru 24 tahun.
6. Mendirikan kantor berita pertama yang memakai kata Indonesia.
Di pembuangan di Belanda, selain aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), KHD mendirikan Indonesisch Pers-bureau. Kantor berita Indonesia ini merupakan lembaga yang pertama kali secara formal memakai kata Indonesia.
7. Istri Sakit-sakitan Mengubah Arah Perjuangannya.
Aktivisme KHD menentang Belanda membuatnya sering keluar-masuk penjara. Ia antara lain pernah meringkuk di penjara di Pekalongan, di Mlaten (Semarang) dan di Pekalongan.
Istrinya, Soetartinah, sering khawatir. Bahkan kemudian sakit-sakitan. kolonial.
BACA JUGA:
- Universitas Nurul Jadid, Kampus Pesantren Pertama Berstandar ISO 21001
- Demi Ringankan Beban Ekonomi Mahasiswa Saat Pandemi Corona, Universitas di Bandung Ini Gratiskan Biaya Kuliah
- Ranking Universitas di Rusia Jeblok, Bukan Berarti Tidak Berkualitas
- EDUTALK: Pandemi Corona, Pelajar Indonesia di Belanda Pulang. Gimana Nasib Kuliahnya?
- Kenapa Kamu Melanjutkan Studi ke Inggris, Inilah Alasannya!
- Indy Hardono: Beasiswa ke Belanda Sangat Terbuka untuk Disabilitas
- Peter van Tuijl: Pelajar Indonesia di Belanda Feels Like Home
Sadar akan hal itu, KHD mengurangi bahkan menghentikan aktivitas radikalnya. Ia mengubah cara dengan berjuang lewat pendidikan. Ia mendirikan Taman Siswa, yang nama awalnya adalah Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa. Sebagai sekolah independen, KHD menolak diberi subsidi oleh pemerintah kolonial.
8 Namanya Ada Dimana-mana, mulai dari kapal perang hingga di uang rupiah.
Telah banyak penghormatan diberikan kepada KHD. KHD adalah Menteri Pendidikan dan Pengajaran pertama Indonesia. Setelah meninggal, pada November 1959 ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional. KHD merupakan pahlawan nasional kedua, setelah Abdul Muis.
Selain hari lahirnya dijadikan HPN, nama KHD juga diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) Universitas Gadjah Mada.
Semboyan pendidikan yang dipakainya, “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan), dipakai dalam dunia pendidikan. Tut Wuri Handayani menjadi semboyan pada logo Kementerian Pendidikan Nasional. Potret KHD juga diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 edisi tahun 1998.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
.
Leave a Reply