JAKARTA, KalderaNews.com – Jika kamu mengira kebaya adalah busana wajib perempuan di Hari Kartini dan tak afdol merayakan hari itu tanpa parade fesyen kebaya, ada baiknya mengetahui asal mula tradisi itu. Dengan memahaminya, kamu boleh memutuskan masih ikut merayakan Kartini dengan tradisi rekayasa sebuah rezim, atau dengan cara lain menurut pilihan kamu sendiri.
Untuk itu ada baiknya menyimak ulasan Kathryn Robinson, profesor emeritus pada Australian National University’s School of Culture, History & Language, yang banyak membuat penelitian tentang Indonesia.
BACA JUGA:
- Gagal Beasiswa Berkali-kali, Rulli Rizki: Saya Tetep Semangat
- Dr. Ir. Antonius Tanan MBA, MSc, MA: Orangtua Adalah Guru Pertama, Guru Utama dan Guru Paling Lama
- Indy Hardono: Beasiswa ke Belanda Sangat Terbuka untuk Disabilitas
- EDUTALK: Pandemi Corona, Pelajar Indonesia di Belanda Pulang. Gimana Nasib Kuliahnya?
- Buat yang Males Baca, Nih Kiat Sukses Membuat Motivation Letter untuk Beasiswa ke Luar Negeri
- Saat Anak Mulai Bosan dan Jenuh Belajar di Rumah, Lakukan 7 Tips Berikut Ini
Menurut dia, dalam tulisannya, Kartini and ‘Kartini’ (dapat dibaca di tautan ini: https://www.newmandala.org/kartini-and-kartini/) tradisi berkebaya di Hari Kartini baru muncul di era Orde Baru. Itu seiring dengan citra Kartini yang dipotret sebagai ‘ibu’ dan istri pendukung suami.
Sebelum Orde Baru, kepahlawanan Kartini bukan terutama peran domestik perempuan, seperti memasak dan membesarkan anak. Kepahlawanan Kartini adalah karena perjuangannya melawan penjajahan dan membangkitkan rasa nasionalisme. Itu dilakukan lewat dunia pendidikan.
Leave a Reply