Forum Doktor Multidisiplin (FDM) Desak Omnibus Law Dipercepat

Ketua Forum Doktor Multidisiplin (FDM), Suhardi Somomoeljono
Ketua Forum Doktor Multidisiplin (FDM), Suhardi Somomoeljono (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Seminar Forum Doktor Multidisiplin (FDM) bertajuk “Legal and Business in Digital Economy Era” yang dihadiri sedikitnya 40 doktor dari berbagai disiplin ilmu baru-baru ini di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2020 melahirkan sejumlah rekomendasi penting di bidang sosial politik, hukum, ekonomi digital, keuangan dan teknologi finansial (fintech).

Sejumlah pembicara dan pengurus FDM, hadir di acara itu, antara lain: Dr. Suhardi Somomoeljono, S.H., M.H; Dr. Yunisyaaf Y. Arif, S.H., M.App.Sc., Dr. Yulius Ibnoe, S.E., M.A.,  Dr. Yuli Teguh Hidayat, SS.T., M.M., dan Dr. Pandu Patriadi, S.E., M.M., M.B.A., M.H.

Ketua Forum Doktor Multidisiplin (FDM), Suhardi Somomoeljono mengakui bahwa regulasi di Indonesia saat ini banyak saling berbenturan. Padahal, dalam sektor bisnis apa pun, regulasi yang mendukung adalah hal utama.

BACA JUGA:

“Karena itu, Omnibus Law, bagus untuk membenahi regulasi yang saling berbenturan dengan catatan tujuan ideal yang hendak dicapai ditegaskan dalam difinisi dan konsep yang jelas terkait dengan sasaran target yang terukur dengan frame nilai-nilai keadilan yang mengedepankan kepentingan rakyat Indonesia,” ujarnya.

Diketahui, omnibus law atau undang-undang (UU) sapu jagat itu aturan yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Manfaatnya, omnibus law menyelesaikan masalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan.

Suhardi lantas mendorong para doktor anggota FDM yang memiliki pengetahuan dan kepakaran tertentu, dapat berperan menjadi “saksi ahli” dalam persidangan, untuk menjembatani celah hukum dalam persidangan suatu perkara.

Terkait ekonomi digital dan regulasi, demi kepastian hukum dan lain-lain, ekonomi digital perlu diatur dengan baik lewat regulasi. Pengaturan yang baik itu juga demi perlindungan data pribadi, investasi dari domestik atau asing, pendapatan negara (pajak), perlindungan konsumen, dan lain-lain.

“Dalam ekonomi digital, data konsumen mudah tersebar dan dipakai untuk penawaran produk dan lain-lain. Dan ada banyak contoh lain, maka negara perlu hadir dalam ekonomi digital,” tambah Suhardi.

Sementara itu, Dr. Yunisyaaf Y. Arif menyoroti perkembangan fintech di era digital. Pakar perbankan ini, mengimbau perbankan jangan menghindari fintech. Justru perbankan harus merangkul fintech.

Masing-masing pelaku usaha (bank atau fintech-red) memiliki segmen dan keunggulan masing-masing. Bank memiliki sistem yang prudent dan prinsip kehati-hatian yang tinggi, sehingga tingkat kredit macetnya dapat dikendalikan, namun dengan semakin tumbuh dan berkembangnya model bisnis di era digital, maka bank perlu melakukan penyesuaian sehingga dapat lebih cepat tanggap dengan tingkat akurasi yang lebih baik dalam melakukan assessment kelayakan aplikasi pinjaman maupun profil calon nasabah.

Kecepatan respon sangat diperlukan untuk akselerasi keputusan kredit. Dari sudut lain dengan tingkat jangkauan data yang lebih luas dengan tingkat pemerosesan aplikasi pinjaman yang lebih cepat dan akurat. Fintech memiliki tingkat fleksibilitas layanan yang tinggi dan cepat serta tingkat jangkauan nasabah yang lebih luas.

Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan bank adalah perlunya kolaborasi yang baik dengan fintech, sehingga bank secara tidak langsung bank dapat memanfaatkan fintech sebagai front-liner (saluran) maupun back office yang handal yang memiliki kemampuan kecepatan pemerosesan yang tepat dan cepat. Bahkan dalam hubungan kerjasama antara bank dan fintech, bank bisa berperan sebagai “super-lender”. Sehingga bank bisa sekaligus memperluas jaringan dan jangkauannya di seluruh Indonesia atau bahkan hingga ke luar negeri.

Dr. Yulius Ibnoe, seorang pengamat kebijakan publik, menyoroti tentang pentingnya langkah-langkah strategis di Indonesia terkait SDM, menghadapi era Industri 4.0. Itu antara lain karena 60% angkatan kerja di Indonesia berpendidikan SMP ke bawah.

“Mereka ini mudah terkena dampak otomatisasi di era Industri 4.0. Di samping itu, 50 persen tenaga kerja Indonesia mendapatkan kesenjangan antara pendidikan vokasi yang didapat, dengan kebutuhan dunia industri. Indonesia sangat perlu menyiapkan SDM untuk mendukung transformasi ekonomi di era digital,” tandas Yulius.

Yulius menjelaskan, Indonesia membutuhkan pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang lebih banyak. Hal ini perlu, karena banyak lulusan kita yang belum siap kerja setelah lulus sekolah.

Oleh karenanya, industri atau perusahaan harus punya peran untuk berkembangnya pendidikan vokasi (ketrampilan). Pemerintah, melalui Menteri Keuangan RI telah mengeluarkan Permenkeu Nomor 128/PMK.010/2019 untuk memberikan insentif pengurangan pajak sebesar 200% dari biaya vokasi yang dikeluarkan perusahaan. Selain pendidikan vokasi, Yulius juga menegaskan tentang pentingnya pendidikan softskill dan karakter, agar pekerja kita bias berkembang dan berhasil dalam dunia kerja.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*