Tuhan Menangis Burung Bernyanyi: Antropomorfisme

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – “Tuhan menangis dan berlalu” adalah kalimat yang sangat popular di kalangan mahasiswa tahun 1980-an. Kalimat ini bukan berasal dari  kitab suci. Ia dikutip dari sebuah buku humor berjudul Mati Ketawa Cara Rusia karya Zhanna Dolgopolova (1986).

Sebuah judul berita di Kompas pada tahun 1990-an berbunyi, “Jakarta Menangis.” Isinya mengisahkan maraknya kriminalitas di Ibukota dengan modus operandi yang semakin brutal.

Di Radio Prambors belakangan ini hampir setiap pagi diputar sebuah iklan layanan masyarakat. Sampah plastik terdengar berbicara sambil menangis, berkeluh kesah tentang dirinya yang sudah 20 tahun terdampar di lautan Indonesia.

Apakah betul Tuhan menangis? Apakah benar Jakarta berurai airmata? Apakah sampah plastik bisa sesenggukan?

BACA JUGA:

Kita sudah  tahu bahwa pertanyaan ini tidak perlu dijawab. Manusia sudah ratusan tahun memiliki tradisi mengenakan karakter  manusia kepada nonmanusia. Itu bukan hal asing dalam percakapan sehari-hari maupun di ranah literasi. Burung-burung  bernyanyi, angin membawa berita, rembulan bersembunyi, bumi marah, sepeda motor ngambek, adalah beberapa contohnya.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*