Karena Alam Hanya Menjalani Fitrahnya

Koordinator Tim Beasiswa Nuffic Neso Indonesia, Indy Hardono di acara Welcoming Session StuNed Master Awardees 2019
Koordinator Tim Beasiswa Nuffic Neso Indonesia, Indy Hardono di acara Welcoming Session StuNed Master Awardees 2019 di Hotel Bidakara Jakarta, Sabtu, 18 Mei 2019 (KalderaNews/Fajar H)
Sharing for Empowerment

Oleh: Indy Hardono*

JAKARTA, KalderaNews.com – Belanda sebuah negara kecil di Eropa Barat dikenal sebagai negara yang paling jago urusan manajemen air. Negeri yang hampir 30% tanahnya berada di bawah permukaan laut ini mampu membendung North Sea dengan membangun dam raksasa yang konon adalah yang terbesar di dunia. Namun waduk besar dan polder system terbaik  yang mereka miliki akan percuma dan Belanda akan tetap tenggelam kalau tidak ada keikutsertaan aktif dan komitmen dari masyarakatnya. Tak ada mantra ‘abrakadabra sekali jadi’ atau terima beres tanpa keikutsertaan aktif dari masyarakat. Peran utama pemerintah hanya memfasilitasi dalam hal pembangunan infrastruktur. And the rest…. the Dutch are doing the show!

Dewan Air

Di Belanda dikenal organisasi bernama waterschap atau water board atau dewan air. Waterschap adalah organisasi dari tingkat desa sampai propinsi yang memiliki kewenangan untuk mengatur masalah air. Bahkan ada semacam general election untuk memilih siapa wakil masyarakat yang akan duduk di dewan air ini. Waterschap yang sudah ada sejak abad 13 pertama kali dibentuk oleh kaum petani . Di jaman modern seperti sekarang waterschap tetap dipertahankan dengan memperluas keanggotaannya dengan memasukkan semua pihak yang berkepentingan terhadap air yaitu: penduduk setempat, industri, pemerintah kota, petani dan taman – taman publik. Waterboard memiliki kewenangan sangat luas  dalam mengelola dan merawat waduk, polder, tanggul, mengawasi asupan dan kualitas air, mengatur ketinggian air dan bahkan sampai urusan waste water treatment. Kewenangan ini ada di tingkat lokal sehingga setiap desa dan setiap distrik berkewajiban mengatur tata kelola air di tempatnya masing-masing. Hal-hal kecil sampai ke masalah penggunaaan air di rumah tangga juga menjadi tanggung jawab bersama. Konon di sana ada larangan mencuci mobil di rumah dan memakai food disposal unit di wastafel rumah.

Polder system di Belanda (Foto: Edward Burtynsky)
Polder system di Belanda (Foto: Edward Burtynsky)

Waterschap adalah contoh sebuah solusi yang dirumuskan dan dijalankan bersama. Waterschap lahir dari KESADARAN dan introspeksi diri terhadap masalah yang dihadapi. Waterschap adalah contoh sebuah demokrasi yang bertanggung jawab. Demokrasi yang bukan hanya menuntut dan mengkritik, bukan sekedar freedom of speech tapi juga tentang partisipasi aktif dan kontribusi langsung.

BACA JUGA:

Kesadaran akan hidup dengan bencana juga sudah ditanamkan di Belanda sejak dari kecil. Bagi negara yang tantangannya bukan hanya sungai namun juga laut, bencana alam harus disikapi sebagai bagian dari keseharian. Hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan tentang tata kelola air dan sikap resiliensi terhadap hal-hal yang kurang menguntungkan juga sudah diperkenalkan sejak anak-anak.

Fitrah

Bencana alam adalah usaha alam untuk mencari kesetimbangan sesuai dengan fitrahnya. Air ya sudah pasti mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ketika bertemu dengan luas resapan air yang cukup ya masuk lah dia. Namun kalau daerah resapan air sudah berubah  menjadi pemukiman yang atas bawahnya berbalut beton maka perlahan namun pasti akan terjadi genangan. Ya.. alam hanya menjalani fitrahnya!

Kitapun seharusnya melakoni fitrah kita. Fitrah kita sebagai mahkluk ciptaanNya adalah rahman dan rahim, cinta kasih , welas asih. Welas asih kepada semua ciptaanNya, termasuk alam.

Jika daerah resapan air dan pemukiman yang biasanya hijau seperti di daerah Kemang semakin berkembang jadi tempat usaha dimana tanah disulap jadi mall dan halaman rumah menjadi lahan parkir, sudah welas asih kah kita kepada alam? Jika apartemen terus dibangun dan air tanah terus disedot habis, pantas kah kita murka ketika listrik dipadamkan hanya sehari oleh PLN dan genset tidak berfungsi karena terendam air?

Salah satu jalan penghubung Tangerang, Banten, ke DKI Jakarta, yakni Jalan Hasyim Ashari Ciledug-Pinang masih digenangi banjir setinggi paha orang dewasa pada Kamis (02/01) sore yang mengakibatkan akses warga menuju ibu kota terputus
Salah satu jalan penghubung Tangerang, Banten, ke DKI Jakarta, yakni Jalan Hasyim Ashari Ciledug-Pinang masih digenangi banjir setinggi paha orang dewasa pada Kamis (02/01) sore yang mengakibatkan akses warga menuju ibu kota terputus (Antara/Indra Arief Pribadi)

Neraca kesetimbangan semesta tidak akan tercapai jika kita ‘melawan’ fitrah kita. Termasuk juga dengan cara yang ‘kontra-fitrah’ sepertu hujatan yang tak berakhir, cibiran yang tak berujung dan kebencian yang mengerak. Semuanya membawa muatan negatif dan akan merusak kesetimbangan semesta yang jika tidak segera kita sudahi akan berujung prahara. Semua hanya menggunakan indra bicara yg hanya satu dan enggan menggunakan indra pendengaran yang ada dua. Padahal suara hati (baca: suara Ilahi) yang bermuatan rahman rahim, welas asih, tidak akan terdengar dalam suasana gaduh dengan tabuhan gendang cercaan dan umpatan. Sungguh bising!

Blaming others mentality sudah cukup kronis sepertinya diderita bangsa ini. Padahal nenek, kakek , eyang, kita selalu mengingatkan kita untuk ELING dan WASPADA jika terjadi bencana atau malapetaka untuk selalu menunjuk ke dalam, ke diri sendiri: self reflection.

Segala peristiwa pada akhirnya hanya sarana pengingat. Alam tidak punya pilihan, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, ia hanya mengikuti fitrahnya. Kita punya pilihan.

* Indy Hardono merupakan Scholarship Team Coordinator Nuffic Neso Indonesia




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*