JAKARTA, KalderaNews.com – “Dengan sangat berat, mengucapkan, ayah saya Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 RI, meninggal dunia jam 18.05 WIB,” ujar Thareq di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu, 11 September 2019.
Thareq mengatakan ayahnya meninggal dunia karena sudah berusia tua sehingga sejumlah organ dalam tubuhnya mengalami degenerasi. Salah satunya adalah jantung. Sebelum meninggal, keluarga dekat sudah berkumpul di RSPAD Gatot Soebroto, tempat Habibie dirawat. Diketahui, Habibie telah menjalani perawatan intensif di rumah sakit sejak 1 September 2019.
Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Semasa hidupnya Habibie beberapa kali menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto. Karena keahliannya di bidang teknik, terutama teknologi dirgantara, Habibie juga memiliki gelar Prof Dr Ing
BACA JUGA:
- Inilah Sosok Inspiratif Muhamad Fadly, Pemenang Putra-Putri Pariwisata Nusantara (P3N) 2019
- Clarita Mawarni Salem dari NTT Dinobatkan Sebagai Putri Pariwisata Indonesia (PPI) 2019
- Sumatra Barat dan Sulawesi Tengah Jawara Putra Putri Pariwisata Nusantara (P3N) 2019
- Duh, Prestasi Indonesia di 13rd IESO 2019 Korsel Merosot
Habibie adalah anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Bugis-Jawa, Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Kedua orang tua Habibie berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar. Kakek Habibie adalah ulama Islam terkenal.
Ayah Habibie adalah lulusan sekolah pertanian di Bogor. Pada 1948, Alwi Habibie menjabat sebagai Kepala Departemen Pertanian Negara Indonesia Timur
Sejak kecil Habibie ingin menjadi insinyur. Ia sekolah HBS (horgere burger school) lalu pindah ke Bandung dan sekolah di Gouvernements Middelbare School sampai pada 1950-1951. Lalu lanjut ke Sekolah Menengah Atas Katolik dari 1951 sampai 1954.
Selama sekolah ia menonjol di bidang ilmu alam dan matematika. Menurut Prof. Dr. K.L. Laheru, ia pandai berenang, bernyanyi, dan bersepatu roda. Minatnya pada aeromodelling juga sudah tampak sejak SMA. Ia memiliki model pesawat terbang buatan sendiri yang selalu ia peragakan dan jelaskan.
Setelah SMA tahun 1954, ia masuk Departemen Elektro, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung). Dengan biaya dari ibunya, pada tahun 1955 ia melanjutkan kuliah di jurusan Konstruksi Pesawat Terbang di Rheinisch Westfählische Technische Hochschule (RWTH), Achen, Jerman Barat.
Ketika datang ke Achen tahun 1955, Habibie adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak dibiayai beasiswa. Ibunya yang janda sepenuhnya membiayai kuliahnya. Oleh karena itu, mau tidak mau ia harus menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin.
Ia pun sukses studi di Jerman. Lulus diploma pada 1960 dan menjadi asisten peneliti di Institut Kontruksi Ringan RWTH, bekerja di Institut Kontruksi Ringan, bekerja di perusahaan gerbong kereta api Talbot
Setelah menyelesaikan pendidikan doktor teknik tahun 1965, Habibie memilih menolak tawaran menjadi pengajar di RWTH dan bekerja di perusahaan pesawat Boeing.
Ia memilih bekerja di perusahaan pembuat pesawat Hamburger Flugzeug Bau (HFB) yang tengah mengembangkan pesawat Fokker F28 dan Hansajet 320.
Karirnya pun cemerlang. Setelah HFB berganti nama menjadi Messerschmitt-Boelkow-Blohm (MBB), ia diangkat sebagai Direktur Pengembangan dan Penerapan Teknologi, pada 1973.
Habibie mengaku bahwa Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta, memiliki peran yang vital dalam industri strategis Indonesia. Ia pun menceritakan pengalamannya bagaimana saat dirinya hendak pulang ke Indonesia setelah selesai belajar di Jerman. Habibie saat itu masih berusia 28 tahun. Soekarno justru melarang. Habibie disuruhnya tetap tinggal dan masuk ke dunia industri di Jerman. Habibie boleh pulang apabila dibutuhkan Indonesia.
Tawaran datang datang dari Jerman. Jerman yang saat itu tahu Habibie bukan orang biasa, langsung saja menawari Habibie dengan status ‘warga negara kehormatan’. Bukannya senang dengan status yang jarang diberikan Jerman, Habibie justru menolak.
“Sekalipun menjadi warga negara Jerman, kalau suatu saat Tanah Air ku memanggil, maka paspor (Jerman) akan saya robek dan akan pulang ke Indonesia,” kata Habibie seperti dikutip dalam buku Habibie dan Ainun.
Selanjutnya, Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia. Habibie langsung bersedia dan melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Sejak saat itu Habibie pun mulai mengembangkan industri dan lembaga strategis hingga akhirnya lahir perusahaan milik pemerintah seperti PT Dirgantara Indonesia, Batan, badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Pindad.
Ia langsung diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung di bawah Presiden Soeharto) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.
Hal yang hampir sama juga dilakukan pemerintah Filipina. Di zaman Presiden Ferdinand Marcos, Habibie ditawari mengelola dirgantara Filipina. Marcos yang saat itu turun langsung membujuk Habibie beralasan bahwa ini untuk kepentingan Asia. Jawaban Habibie sama. Dia menolak. Sikap ini jelas menunjukkan kecintaannya dengan Indonesia.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply