Oleh Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com — Digitalisasi di dunia pendidikan telah mendatangkan gagasan ekstrem: menghapus pelajaran menulis dengan tangan di sekolah-sekolah. Menulis dengan tangan (selanjutnya disingkat menjadi MDT) tak lagi diajarkan. Sebagai gantinya, anak-anak menulis dengan menggunakan keyboard komputer.
Kemudahan yang ditawarkan piranti digital telah membuat banyak guru mendukung proses jalan pintas ini. Tak ada lagi kewajiban bagi anak-anak untuk belajar MDT. Ini sudah terjadi di Norwegia dan Finlandia.
BACA JUGA:
- Beasiswa Bank Indonesia untuk Mahasiswa Unika Atma Jaya
- Sambut Mahasiswa Baru, Unika Atma Jaya Hadirkan Wapres RI
- Resmi Diluncurkan Unika Atma Jaya, Ini Keistimewaan Laboratorium Covid-19 dan Farmakogenomik
Menurut Anne Sliper Midling dari Norwegian of Science and Technologi (Norges Teknisk-naturvitenskaplige Universitet/NTNU) yang menulis di Medical Xpress, belum lama ini, beberapa sekolah di Norwegia telah menghapus pelajaran ini dan menggantinya dengan pelajaran menulis memakai keyboard komputer. Di Finlandia lebih ekstrem. Sebagian besar sekolah tidak lagi memberikan peajaran MDT.
Kecenderungan ini makin kuat di masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan pelajar mengunakan piranti digital pada hampir seluruh proses belajar dari rumah. Di Norwegia, waktu anak-anak terhubung dengan gadget mencapai rata-rata empat jam sehari, naik 100 persen dibanding tahun 2010. Ini telah mendatangkan keprihatinan tersendiri.
Perdebatan tentang perlunya pelajaran MDT memang banyak terjadi di negara-negara tersebut. Para guru yang pro digitalisasi menulis, mengatakan anak-anak sejak dini harus diperkenalkan dengan kegiatan menulis memakai komputer. Menulis dengan keyboard memberi kesempatan kepada anak-anak menulis kalimat-kalimat yang lebih panjang. Dengan begitu mereka akan termotivasi menulis. Sebaliknya, MDT dipandang sering mendatangkan rasa frustrasi bagi anak-anak karena prosesnya yang lebih lambat dan tingkat kesulitan yang lebih berat (dibanding dengan mengetik via keyboard).
Menulis dengan Tangan Berhubungan dengan Kecerdasan
Kubu yang menentang penghapusan pelajaran MDT mengajukan argumen yang berbeda. Mereka mengangkat pentingnya MDT dipertahankan dengan menggali lebih jauh tentang manfaat dari pelajaran tersebut. Salah satu proponen dari MDT adalah Profesor Audrey Van der Meer dari NTNU. Ia justru mendesak agar pelajaran MDT diperkenalkan sejak usia dini kepada anak-anak karena pelajaran ini berkaitan dengan tingkat perkembangan kecerdasan mereka. Van der Meer mengkhawatirkan satu generasi lebih akan kehilangan kemampuan MDT dengan eksposur teknologi digital dewasa ini.
Argumentasi Profesor Van der Meer dibangun berdasarkan penelitiannya pada tahun 2017 dan tahun 2020. Penelitian tersebut mengaitkan tingkat kecerdasan dan daya ingat dengan kegiatan MDT. Menurut dia, MDT membuat otak bekerja aktif dan lebih siap menampung pelajaran baru sekaligus merekam memori lebih tajam. Dengan demikian otak diarahkan berkembang ke tingkat optimumnya.
Kesimpulan seperti ini telah cukup banyak dihasilkan penelitian lain. Namun, riset Van der Meer terbaru lebih istimewa karena menyertakan anak-anak selain orang dewasa sebagai sampel. Penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya pelajaran MDT bukan hanya berlaku pada generasi ‘jadul’ namun juga pada generasi milenial yang notabene sudah sangat terekspose dengan gaya hidup digital.
Dalam riset terbaru tersebut, 12 orang dewasa dan 12 anak-anak dijadikan sebagai sampel. Van der Meer menggunakan pemeriksaan Electroencephalography (EEG) untuk mengikuti dan mencatat aktivitas otak 24 orang yang menjadi sampel. Partisipan diminta menggunakan penutup kepala yang ditempeli 250 cakram logam kecil (elektroda). Elektroda itu akan menerima impuls elektronik yang dihasilkan otak ketika ia aktif dan ditampilkan sebagai garis bergelombang pada rekaman EEG. Pengujian berlangsung selama 45 menit per orang dan riset tersebut mendapatkan 500 poin data per detik.
Hasilnya menujukkan otak orang dewasa maupun anak-anak lebih aktif ketika mereka melakukan MDT dibandingkan dengan mengetik di keyboard. Menurut Van der Meer, pengunaan pena mendorong otak lebih terhubung dengan aktivitas menulis dibandingkan dengan penggunaan keyboard. Banyak aktivitas berfikir teraktifkan ketika seseorang menekan pena di kertas, melihat huruf yang ditulis dan mendengar suara yang tercipta saat menulis. Aktivitas ini menciptakan kontak antar berbagai bagian di otak dan membuka pintu otak lebih lebar untuk belajar. Secara bersamaan kemampuan belajar dan mengingat pun menjadi lebih baik.
Van der Meer mengakui MDT memang menghadirkan kesulitan tertentu bagi anak-anak. Prosesnya juga lebih lambat dibanding menekan tombol-tombol keyboard. Namun menurut dia, fase sulit ini justru penting untuk dialami dan dilalui oleh anak-anak.
Bila anak-anak dibiasakan menulis dengan keyboard sejak dini, mereka menjadi terbiasa menggunakan gerakan tangan yang sama dalam menghasilkan semua huruf. Berbeda dengan MDT yang memberi kemampuan pada anak-anak mengendalikan gerak tangan yang sekaligus membuat otak tetap siaga untuk menerima pelajaran.
Otak berkembang dengan baik bila ia dipergunakan dan ditantang untuk mencapai kepenuhannya. Otak juga, menurut Van der Meer, sebanyak mungkin harus dihidupi oleh pengalaman-pengalaman otentik. Kegiatan MDT adalah sebuah pengalaman otentik dibandingkan menulis dengan keyboar.
Van der Meer mengkhawatirkan satu generasi dapat kehilangan kemampuan seperti MDT bila proses digitalisasi terus meggerus lebih dalam pelajaran-pelajaran yang dianggap dapat digantikan oleh teknologi digital. Dan hal itu sangat berbahaya. Oleh karena itu ia mengusulkan perlu dibuat kebijakan yang mengharuskan adanya tingkat batas minimum kewajiban memberikan pelajaran MDT di sekolah. Dengan demikian tidak ada lagi sekolah yang menghapus pelajaran MDT.
Bukan berarti Van der Meer anti terhadap penggunaan teknologi digital dalam menulis. Yang ia tentang adalah jika kemampuan MDT sepenuhnya dihapus dan digantikan dengan menulis memakai piranti digital. Ia menyarankan perlunya keseimbangan. Ia mencontohkan seorang mahasiswa ketika menulis paper adalah wajar memakai komputer. Namun sangat dianjurkan dalam mencatat kuliah dosen dengan cara MDT. Artinya, proses mencatat perkuliahan tidak hanya berfungsi menyimpan catatan-catatan tersebut.di kertas, tetapi juga mencerna dan mengendapkannya dalam memori secara lebih dalam.
Temuan Profesor Meer ini semoga dapat menjadi bahan pertimbangan juga dalam proses belajar mengajar di negara kita di era digital ini. Bila ada gagasan hendak menghapus pelajaran MDT, sebaiknya pikir-pikir dulu.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lainEsensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply