AMSTERDAM, KalderaNews.com – Founder of Sekolah dan Kampus Guru Cikal, Najelaa Shihab mengaku tetap optimis dengan masa depan pendidikan di Indonesia di tengah berbagai tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari inovasi, SDM guru-guru dengan praktik baiknya, karakter lokal hingga 20% APBN untuk pendidikan menjadi dasar optimismenya.
“Waktu aku terjun ke pendidikan sampai sekarang, sebetulnya aku jauh lebih optimis, karena semakin banyak membuktikan praktik-praktik baik. Contohnya, inovasi itu ada dan banyak dalam berbagi bentuknya,” tegasnya saat menjadi narasumber webinar Next Education Syatem: Think Globally, Act Locally dari rangkaian Indonesian Youthquake 2020 yang dihelat PPI Belanda pada Sabtu, 8 Agustus 2020.
Ia menambahkan kalau ngomong sekolah yang bagus, itu tuh dari yang mulai dari kota besar Jakarta, misalnya swasta dengan fasilitas yang sangat baik yang konteksnya untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dengan karakteristik tertentu, sampai yang di Lubuk Linggau, salah satu jaringan sekolah merdeka belajar yang betul-betul dari airport naik mobil 3 jam lalu naik sampan 7 jam lagi, itu tuh kayak ada di mana-mana.
BACA JUGA:
- Bikin Ngakak, Kang Emil Tuh Gubernur dengan Follower IG Lebih dari Penduduk Swedia
- 4 Tip Kece Membangun Personal Branding buat Milenial dari Wakil Rektor 3 LSPR Jakarta
- Ya Ampun, Begini Ini To Susahnya Nyari Indekos di Belanda!
- Housing dan Family Allowance, Masalah Paling Pelik bagi Awardee LPDP
- Keren! Hasil Kerja Part Time Bisa Boyong Keluarga ke Belanda! Kok Bisa?
- Masak Bareng dan Kerja Part-Time Bukan Cara Paling Konyol untuk Survive di Belanda
Di acara yang juga menghadirkan Co-Founder SabangMerauke sekaligus Staf Khusus Presiden RI, Ayu Kartika Dewi dengan moderator Citra T.R. Siagian (Master Candidate of Sustainable Development Diplomacy, Wageningen University), Elaa menegaskan contoh praktik baik itu ada dimana-mana karena pendidikan itu pasti kontekstual. Apalagi kalau bicara Indonesia, itu tentu sangat beragam.
Ia mengakui guru-guru yang sudah mempraktikkan metode pendidikan yang inovatif itu banyak. Orang tua yang peduli dan mau jadi relawan lalu percaya bahwa pengasuhan adalah urusan bersama sehingga bikin sesi berbagi cerita dengan orang tua lain jumlahnya ribuan.
Tantangannya saat ini, menurutnya, skala praktik-praktik baik ini perlu diperbesar, karena gerakan-gerakan masyarakat ini lah yang justru pada akhirnya bisa mengakselerasi perubahan dengan menjadi penggerak-penggerak di ekosistem.
Selanjutnya kalau mau jujur dengan karakter lokal, imbuhnya, bangsa Indonesia itu bangsa yang sangat peduli. Semangat kolaboratif dan gotong-royongnya kuat dan ini bukan sesuatu yang sekadar nama, tapi praktiknya bisa diliat setiap hari di lingkungan sekitar.
Selama semua orang itu merasa bisa ambil peran di pendidikan semua bisa dilakukan, apalagi pendidikan di Indonesia ini yang paling menarik karena sektor yang sangat erat dengan negara.
“APBN kita 20% untuk pendidikan, itu proporsi yang sangat tinggi dibanding negara-negara lain di dunia. Guru-guru kita itu, bahkan PNS di daerah tertentu, bisa 50-70% PNSnya adalah guru,” tandasnya.
Jadi, peran negara dalam perbaikan akses dan kesenjangan di pendidikan ini sangat besar, meski kadang ada juga trapnya saat banyak orang yang justru tidur nyenyak karena merasa semua sudah diurusin pemerintah. Padahal kenyataannya, pemerintah tidak bisa sendirian. Pemerintah butuh publik yang terlibat.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply