JAKARTA, KalderaNews.com — Nama Henrikus Suroto beberapa waktu terakhir mendunia di sejumlah media internasional. Kiprahnya menemui langsung murid-muridnya di desa-desa terpencil di Jawa Tengah, dengan berjam-jam mengendarai sepeda motor dan berjalan kaki, telah menarik perhatian media terkemuka dunia.
“Ketika pandemi coronavirus memaksa sekolahnya di pulau Jawa di Indonesia tutup, guru Henrikus Suroto sadar bahwa dia tidak bisa mengandalkan pelajaran secara online untuk murid-muridnya yang tinggal di daerah terpencil yang tidak memiliki akses internet atau bahkan sinyal telepon,” demikian kantor berita Reuters, memulai laporannya tentang Henrikus Suroto pada 23 Juni 2020, dengan judul Dedicated Indonesian teacher rethinks remote learning for offline pupils.
“Untuk memastikan mereka bisa terus belajar, guru sekolah dasar berusia 57 tahun itu memutuskan untuk pergi menemui mereka — menghabiskan sekitar enam jam sehari bepergian dengan sepeda motor dan berjalan kaki — untuk mencapai beberapa komunitas terpencil di daerah perbukitan Magelang, Jawa Tengah,” tulis Reuters.
BACA JUGA:
- 9 Sektor Ekonomi Dibuka, Dr. Agustinus Prasetyantoko: Prinsip Tertingginya Keselamatan Nyawa
- Atma Jaya Siap Masuki Kenormalan Baru di Dunia Pendidikan
- Berkat “Doa Bagi Bangsa”, Fakultas Pendidikan dan Bahasa Unika Atma Jaya Raih Rekor MURI
- Akhirnya, Menteri Agama Beri Keringanan UKT Mahasiswa PTKN, Begini Caranya
- Dosen Untar Sebut New Normal Butuh Kreasi Baru
- Begini Petunjuk Lengkap SKB 4 Menteri tentang Pembukaan Sekolah Kembali
Nada serupa dituliskan oleh kantor berita AFP beberapa hari sebelumnya.
“Guru Henrikus Suroto berjanji bahwa murid-muridnya tidak akan tersingkir dari pendidikan mereka ketika pandemi global memaksa sekolah ditutup di desa Kenalan yang terpencil di Indonesia.
“Maka dia berani melewati jalan pegunungan yang berangin dan tebing terjal untuk mengunjungi komunitas pertanian miskin di Jawa Tengah, dimana kelas secara online tak masuk dalam hitungan karena kurangnya layanan Internet – kemewahan yang hanya dimiliki beberapa orangtua.
“Suroto tidak hanya mempertaruhkan jiwa atau kemungkinan terserang penyakit serius COVID-19, ia juga melanggar perintah pemerintah untuk tidak mengadakan kelas pribadi untuk mencegah penyebaran penyakit,” tulis AFP, dikutip oleh The Jakarta Post pada 12 Juni 2020, dalam tulisan berjudul Pandemic No Match for Indonesia’s Door to Door Teachers.
Suroto mengemukakan alasan yang unik tentang tindakannya. “Saya seorang guru, adalah tanggung jawab saya untuk melakukan ini. Saya harus menemani dan mengajar murid-murid saya,” kata Suroto kepada Reuters.
Satu-satunya keluhannya dalam misi ini adalah sulitnya naik turun lembah curam di tengah hujan.
Di daerah pedesaan tempat ia bekerja, banyak rumah tangga yang tidak siap menggunakan teknologi, seperti halnya di sebagian besar wilayah kepulauan di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 260 juta orang.
Menurut data Asosiasi Penyedia Layanan Internet Indonesia, ada sekitar 60 juta rumah tangga di Indonesia, tetapi hanya sekitar satu dari enam rumah tangga yang memiliki koneksi internet pada pertengahan 2019.
Martinus Kartijo, ayah dari salah seorang murid Suroto dengan jujur mengakui ketidaktahuannya tentang internet.
“Ya, saya tidak tahu apa itu internet dan perangkat canggih lainnya yang sering digunakan saat ini,” kata Martinus Kartijo, dikutip oleh Reuters.
Sementara itu, Arnasih, ibu dari murid Suroto yang lain, menghargai pengaruh Suroto terhadap anak-anak.
“Anak-anak mendengarkan dan mematuhi perintah guru mereka, dibandingkan dengan perintah orang tua mereka,” katanya.
Sementara itu, para murid mengatakan mereka menyambut pertemuan tatap muka dengan Suroto, yang datang dengan mengenakan masker dan menjaga jarak fisik selama memberikan pelajaran.
“Belajar di rumah kadang-kadang bisa sulit, kadang mudah, tetapi jika Pak Suroto ada, semua mata pelajaran menjadi mudah,” kata Albert Jonas Wiratama, seorang murid kelas tiga.
“Tidak ada yang memaksa saya untuk melakukan ini – ini adalah sesuatu datang dari dalam diri saya yang mendorong saya untuk melakukannya, “kata Suroto kepada AFP.
“Saya merasa sedikit bersalah karena melanggar [aturan dari Pemerintah] untuk mengadakan kelas online, tetapi kenyataannya tidak mudah di sini.
“Satu-satunya solusi adalah dekat dengan siswa dengan pengajaran dari rumah ke rumah,,” tambahnya.
Henrikus Suroto, dalam laporan AFP, bukan satu-satunya guru di desa terpencil yang mencari cara untuk menyampaikan pelajaran mengatasi kendala teknologi dengan menempuh bahaya.
Avan Fathurrahman, seorang guru Sekolah Dasar di Madura, Jawa Timur, mengunjungi hingga 11 murid per hari, sebuah pengalaman yang ia tulis dalam posting Facebook yang kemudian menjadi viral.
Dia mengaku takut sakit.
“Tetapi ketakutan saya diliputi oleh panggilan untuk mengajar,” kata Fathurrahman.
“Saya tidak merasa nyaman tinggal di rumah sementara mengetahui bahwa murid-murid saya tidak bisa belajar dengan benar.”
“Dari segi infrastruktur, Indonesia belum sepenuhnya siap untuk pembelajaran online,” kata Christina Kristiyani, pakar pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
“Bahkan jika itu mungkin untuk melakukan konferensi video real-time, biayanya terlalu mahal di daerah pedesaan,” tambahnya.
Selain oleh Reuters, AFP dan The Jakarta Post, kisah tentang kiprah Henrikus Suroto telah ditampilkan maupun ditulis oleh berbagai media dunia lainnya, seperti New York Times (melansir berita Reuters), Free Malaysia Today (Pandemic doesn’t deter teacher from reaching pupils in remote areas), Tribune India (Indonesian teacher travels six hours a day to teach handful of children in remote area), Yahoo News (Rain, hail, or shine, Java’s intrepid teacher on wheels) dan The Star, (Indonesia teacher brings class to offline village students amid pandemic curbs).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply