Direktur UNICEF: Sudah Waktunya Sekolah Dibuka Kembali

Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Holsman Fore (Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Holsman Fore, menegaskan, sudah waktunya sekolah di seluruh dunia dibuka kembali dan sudah waktunya anak-anak belajar secara tatap muka, hal yang tidak dapat digantikan oleh pembelajaran online. Dia juga menegaskan bahwa fakta menunjukkan anak-anak bukan pemicu utama penularan wabah COVID-19 sementara di sisi lain, menurutnya, kerugian akibat ditutupnya sekolah bagi anak-anak, lebih besar daripada kerugian oleh penularan wabah itu sendiri.

Pernyataan ini disampaikan oleh perempuan asal Amerika Serikat itu lewat sebuah langkah yang tidak biasa: dia menulis sebuah kolom opini di CNN pada 19 Juni 2020. Meskipun CNN menyatakan hal itu bukan pendapat resmi UNICEF melainkan pendapat pribadi Henrietta Fore, pernyataan ini tidak dapat diabaikan mengingat dia adalah eksekutif tertinggi di badan di bawah naungan PBB tersebut.

UNICEF yang merupakan singkatan dari United Nations Children’s Fund adalah lembaga PBB yang bertanggung jawab untuk menyediakan bantuan kemanusiaan dan pembangunan untuk anak-anak di seluruh dunia. Berkantor pusat di New York, lembaga ini merupakan salah satu organisasi kesejahteraan sosial yang paling luas dan dikenal di dunia, dengan kehadiran di 192 negara dan wilayah. Kegiatan UNICEF termasuk imunisasi dan pencegahan penyakit, pemberian pengobatan untuk anak-anak dan ibu dengan HIV.

Seberapa jauh pengaruh pendapat Henrietta Fore bagi pengambilan keputusan negara-negara di dunia, khususnya tentang pembukaan kembali sekolah di tengah pandemi, masih harus ditunggu lebih lanjut.

BACA JUGA:

Berikut ini selengkapnya tulisan Henrietta di CNN yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kalderanews.


SUDAH WAKTUNYA MEMBUKA KEMBALI SEKOLAH
Opini Henrietta Fore

Ketika pandemi Covid-19 mulai melanda planet ini, ada banyak hal yang tidak diketahui dunia tentang dampaknya terhadap anak-anak. Bisakah anak-anak sakit (karenanya)? Bisakah mereka menularkan virus? Apakah sekolah aman?

Kita telah belajar cukup banyak sejak itu. Kita telah belajar bahwa anak-anak bukanlah pemicu utama epidemi di negara mana pun.

Sementara itu, kita tahu akan ada efek negatif yang parah pada anak-anak — memburuknya kesehatan mental dan fisik dalam beberapa kasus — ketika mereka tidak bersekolah. Sekarang jelas bahwa anak-anak — dan dunia pada umumnya — akan lebih baik dilayani jika sekolah dibuka kembali.

Pertama-tama kita harus bertanya mengapa banyak sekolah di seluruh dunia masih tutup?

Langkah-langkah pengetatan diambil untuk membantu membendung penyebaran COVID-19 dan meratakan kurva. Seringkali, sekolah adalah salah satu tempat pertama yang ditutup, kadang-kadang bahkan sebelum pusat perbelanjaan, bioskop dan restoran. Pada awal April, lockdown di 194 negara menyebabkan 1,6 miliar anak tidak bersekolah, sekitar 90% dari seluruh murid di dunia. Sampai hari ini, dua bulan kemudian, sementara banyak negara mulai mengurangi pengetatan untuk layanan yang tidak penting, lebih dari 1 miliar anak di 144 negara masih belum berada di ruang kelas mereka. Mereka di rumah bukan untuk liburan musim panas – mereka adalah murid yang pendidikannya terganggu.

Pengalaman dan penelitian selama beberapa dekade telah mengajarkan kepada kita bahwa ketika anak-anak tidak bersekolah untuk periode waktu yang lama, paparan mereka terhadap kekerasan fisik, emosi dan seksual meningkat. Kesehatan mental mereka dapat memburuk. Mereka semakin rentan menjadi pekerja di bawah umur dan kecil kemungkinannya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Bagi mereka yang paling terpinggirkan, kehilangan waktu bersekolah — bahkan jika hanya untuk beberapa minggu — dapat menyebabkan hasil negatif yang bertahan seumur hidup.

Untuk anak perempuan, terutama mereka yang mengungsi atau tinggal di rumah tangga miskin, risikonya bahkan lebih tinggi. Ketika anak perempuan tetap tidak bersekolah, mereka berada pada risiko yang lebih tinggi untuk megalami eksploitasi dan pelecehan seksual. Selama wabah Ebola Afrika Barat 2014, misalnya, tingkat kehamilan di antara remaja di Sierra Leone berlipat dua dan banyak anak perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ketika sekolah dibuka kembali.

Dan kita tidak dapat melupakan jutaan anak-anak, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, dari keluarga miskin atau berkebutuhan khusus, yang mengandalkan sekolah sebagai sumber kehidupan untuk makanan, dukungan pada saat kesusahan, pemeriksaan kesehatan dan layanan terapi.

Bahkan sebelum pandemi, dunia berada di tengah-tengah krisis pembelajaran, dengan kurang dari setengah dari anak berusia 10 tahun di negara berpenghasilan rendah dan menengah dapat membaca dan memahami cerita sederhana pada akhir sekolah dasar, menurut Bank Dunia. Penutupan sekolah yang lama kemungkinan akan menyebabkan murid mengalami kemunduran secara akademis karena — mari kita berterus terang — pembelajaran online hanya untuk segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Di sebagian besar negara di seluruh sub-Sahara Afrika, misalnya, tidak sampai seperempat dari populasi yang memiliki akses internet. Opsi berteknologi rendah seperti pembelajaran lewat radio dan televisi serta selebaran tercetak memungkinkan jutaan siswa untuk — dan terkadang mulai — belajar, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan interaksi tatap muka dengan guru atau teman sebaya.

Ketika semakin banyak negara bersiap-siap untuk melonggarkan pembatasan mereka, mereka harus memprioritaskan sekolah dalam rencana pembukaan kembali mereka — demi anak-anak, tetapi juga demi ekonomi. Bagaimana orang tua akan kembali bekerja jika mereka tidak punya tempat yang aman untuk meninggalkan anak-anak mereka? Jumlah perempuan yang bekerja sebagai petugas kesehatan mencapai 60 persen di sebagian besar negara. Apakah mereka harus juga membantu menjaga anak-anak mereka sementara mereka sibuk menyelamatkan kehidupan orang lain?

Satu hal yang jelas: Sangat penting untuk menyeimbangkan efek penutupan sekolah yang sangat merusak dengan kebutuhan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19. Ya, anak-anak berisiko terinfeksi, dan ya, itu menakutkan bagi orang tua. Namun, sebagian besar anak-anak menunjukkan gejala ringan dan pulih dengan baik.

Risiko menutup sekolah lebih besar daripada risiko kesehatan yang disebabkan oleh pandemi.

Ada cara aman untuk melakukan ini. Pengoperasian sekolah perlu diselaraskan dengan langkah-langkah kesehatan masyarakat, dan penyesuaian perlu dilakukan ketika ada informasi baru tentang risiko atau perubahan dalam transmisi dan kondisi setempat.

Tidak dapat disangkal bahwa banyak hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan keselamatan kesehatan di sekolah – terutama di masyarakat termiskin. Misalnya, tersedianya tempat cuci tangan, desinfektan dan memelihara jarak fisik. Namun, buktinya jelas: investasi dalam protokol keselamatan menghasilkan pengembalian yang tinggi.

Mungkin sekokah memang tidak akan kembali seperti dulu lagi. Kita membutuhkan sekolah yang lebih aman dan lebih baik. Kita membutuhkan pendekatan inovatif untuk pembelajaran. Kita membutuhkan akses yang lebih baik ke teknologi bagi setiap anak untuk menjembatani kesenjangan digital. Tapi sudah waktunya untuk mengembalikan anak-anak ke jalur pembelajaran. Saatnya membuka kembali sekolah.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*