Lulus SMA Mau Kuliah ke Luar Negeri, Albert Johansen Lay: Giat Belajar dan Skill Writing Inggris

Siswa Penabur Secondary Tanjung Duren (PSTD), Albert Johansen Lay penerima beasiswa parsial ke University of Waterloo di Kanada
Siswa Penabur Secondary Tanjung Duren (PSTD), Albert Johansen Lay penerima beasiswa parsial ke University of Waterloo di Kanada (KalderaNews/Dok.Pribadi)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Albert Johansen Lay, siswa Penabur Secondary Tanjung Duren (PSTD) Jakarta ini mengaku kalau sejak kecil sebenarnya sudah sering didorong oleh kedua orangtuanya untuk sekolah di luar negeri. Alasan yang kerap disampaikan kedua orangtuanya, yakni agar ia mendapat pengalaman baru. Namun yang namanya anak kecil, ia waktu itu belum tertarik sama sekali.

“Saya baru benar-benar tertarik itu waktu ngeliat kampus-kampus luar negeri di internet,” kisahnya saat berbicara pada KalderaNews.

Petualangan baru pun dimulainya sewaktu masih di SMP Pangudi Luhur Jakarta. Ia riset ketentuan-ketentuan masuk ke beberapa sekolah di AS. Ia kaget karena hampir semua tidak menerima kurikulum Indonesia dan harus ikut bridging course selama setahun lagi.

BACA JUGA:

Setelah tamat SMP, ia pun memilih sekolah dengan kurikulum internasional. Dengan pertimbangan cari yang berkualitas, ujarnya, ketemunya Penabur Secondary Tanjung Duren.

Waktu awal-awal ia menganggap remeh sekolah internasional. Ia terpengaruh omongan orang kalau sekolah internasional itu gampang.

“Tapi ulangan pertama saya waktu itu, yakni Matematika hanya dapat nilai 32. Saya langsung shock soalnya sudah terbiasa dari dulu dapat 90-an. Sejak saat itu, saya belajar emang non stop, namun kebanyakan masih dapat nilai sekitar 80-an. Tapi tak apa, kan masih lebih baik daripada 32,” aku remaja yang hobi gaming ini sembari tertawa.

Remaja kelahiran Jakarta, 19 Juni 2002 ini mengaku, setelah bisa beradaptasi dengan kurikulumnya, nilainya mulai meningkat. Sampai pada waktu ujian A level ia pun meraih 4A*. Ia terkejut tak percaya. Ia merasa seperti bermimpi.

Namun toh ia mengjalani hidup yang terus mengalir, hingga kini ia harus bersiap untuk pergi ke Kanada. Ia akan studi lanjut ke University of Waterloo di Kanada, meski sebenarnya sampai di kelas 11 tidak tahu sama sekali Waterloo itu sekolah apa.

“Taunya dulu yang terkenal-terkenal: Ivy League atau NUS gitu. Setelah ngobrol dengan counselor sekolah saya, dapat advice untuk ke Waterloo. Katanya, computer science di sana emang bagus. Setelah research banyak, memang bagus dan susah juga masuknya (4.3%).”

Ia menambahkan waktu cari scholarshipnya pun ternyata kebanyakan untuk peraih medali IMO. Untung saja, ada juga yang untuk pelajar biasa, walaupun gak ada yang full. Asyiknya, untuk scholarship ini gak perlu application tambahan.

Ia akan pergi studi ke Kanada untuk ambil jurusan computer science, meski diakuinya tidak pernah berpikiran bakal ambil jurusan ini, lagi-lagi karena berhubungan erat dengan Matematika.

“Waktu itu, saya trauma sama Matematika gara-gara dapat 32 itu,” terangnya.

Siswa Penabur Secondary Tanjung Duren (PSTD), Albert Johansen Lay penerima beasiswa parsial ke University of Waterloo di Kanada
Siswa Penabur Secondary Tanjung Duren (PSTD), Albert Johansen Lay penerima beasiswa parsial ke University of Waterloo di Kanada (KalderaNews/Dok.Pribadi)

Ia justru mulai tertarik bidang ini waktu mulai belajar statistik dengan dibimbing oleh Ms. Imelda. Nilai Matematikanya melonjak. Ia merasa cocok dengan gaya mengajarnya. Selain itu, waktu sahabat tertarik dengan coding, ia pun tertarik.

“Eh, saya juga ikutan kena sukanya. Jadi, saya iseng-iseng ikut kelas online Harvard CS50X (gratis!) waktu liburan. Saya pun menjadi semakin tertarik.”

Lalu seperti apa perjuangannya untuk bisa daftar kuliah di University of Waterloo? Ternyata, tidak mudah.

Saat cek requirement masuk ke Waterloo ini, ternyata ia wajib mengambil satu pelajaran lagi: IGCSE English as a First Language. Ia pun berpikir keras. Walaupun tingkat testnya setara dengan SMP luar negeri, ia tidak pernah belajar bahasa Inggris untuk orang yang native.

“Apalagi, saya baru sadar hal ini 6 bulan sebelum testnya. Jadi, saya buru-buru cari guru les. Stres banget waktu itu, soalnya biasanya orang memang butuh 2 tahun untuk test ini. Ditambah lagi, saya sambil belajar untuk 4A level, dimana orang kebanyakan ambil 3. Mulai dari Juni sampai Oktober 2019, saya tidur aja sambil mikirin pelajaran.”

Namun semua pengorbanan itu pun ada maknanya. Ia berhasil masuk University of Waterloo di Kanada dengan beasiswa parsial, berupa potongan biaya kuliah. Meski tidak mendapatkan potongan biaya kuliah 100%, setidaknya beban keuangan sedikit berkurang.

Diakhir perbincangan dengan KalderaNews ia berpesan agar pelajar Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri giat belajar dan mengembangkan skill writing bahasa Inggrisnya. Itulah dua kunci dari pengalaman konkretnya selama ini.

“Nasihat biasa sih: belajar dengan giat karena kebanyakan sekolah itu melihat nilai sebagai komponen paling penting. Selain itu, kembangkan juga skill writing dalam bahasa Inggris juga. Sebagian besar meminta essay yang butuh kemampuan writing setara dengan native,” pungkas peraih Top in Indonesia Physics A Level.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*