Agar Tak Jadi Korban Fesyen Dadakan, Milenialis Wajib Tahu Asal Mula Tradisi Berkebaya di Hari Kartini

Potret Kartini oleh @NOBODYCORP (New Mandala)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Jika kamu mengira kebaya adalah busana wajib perempuan di Hari Kartini dan tak afdol merayakan hari itu tanpa parade fesyen kebaya, ada baiknya mengetahui asal mula tradisi itu. Dengan memahaminya, kamu boleh memutuskan masih ikut merayakan Kartini dengan tradisi rekayasa sebuah rezim, atau dengan cara lain menurut pilihan kamu sendiri.

Untuk itu ada baiknya menyimak ulasan Kathryn Robinson, profesor emeritus pada Australian National University’s School of Culture, History & Language, yang banyak membuat penelitian tentang Indonesia.

BACA JUGA:

Menurut dia, dalam tulisannya, Kartini and ‘Kartini’ (dapat dibaca di tautan ini: https://www.newmandala.org/kartini-and-kartini/) tradisi berkebaya di Hari Kartini baru muncul di era Orde Baru. Itu seiring dengan citra Kartini yang dipotret sebagai ‘ibu’ dan istri pendukung suami.

Sebelum Orde Baru, kepahlawanan Kartini bukan terutama peran domestik perempuan, seperti memasak dan membesarkan anak. Kepahlawanan Kartini adalah karena perjuangannya melawan penjajahan dan membangkitkan rasa nasionalisme. Itu dilakukan lewat dunia pendidikan.

Hal itu memiliki dasar dalam surat-suratnya yang dikumpulkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Di sejumlah suratnya, Kartini tidak sungkan-sungkan mengeritik kinerja pejabat-pejabat Hindia Belanda. Dia juga mengemukakan saran agar kinerja pemerintahan dapat ditingkatkan.

Di antara sarannya adalah mendorong agar partisipasi orang Indonesia dalam birokrasi Hindia Belanda kala itu diperluas. Dengan kata lain, Kartini memperjuangkan kemajuan bangsanya.

Meskipun demikian, harus diakui bahwa pendidikan adalah tema utama perjuangan Kartini untuk kemerdekaan. Komitmen Kartini terhadap keadilan sosial dia jalankan lewat gagasan memajukan pendidikan.

Perjuangannya yang mengartikulasikan pendidikan bagi perempuan pada perjalanannya mengilhami perkembagan gerakan nasionalis melawan penjajah. Lagu yang diciptakan Wage Rudolf Supratman, pada 1931, “Ibu Kita Kartini” menggambarkan hal itu.

Alasan-alasan nasionalistis itu yang membuat Presiden Sukarno memberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964 kepada Kartini, bersama dengan dua pahlawan lain, Cut Nya Dien dan Cut Nyak Meutia. Kedua yang disebut terakhir adalah pejuang bersenjata dari Aceh. Sedangkan Kartini berjuang dengan pena.

Berubah di Era Orde Baru

Citra Kartini yang demikian mulai berubah ketika rezim Orde Baru berkuasa. Menurut Kathryn Robinson, dalam pandangan rezim ini, ideologi gender sangat penting untuk pelaksanaan kekuasaan otoriter.

Dukungan negara untuk pelaksanaan otoritas laki-laki dalam keluarga melegitimasi figur Bapak Presiden yang memimpin bangsa. Panggilan terhadap “Kartini” untuk mengabdi kepada bangsa, dipotret dalam bingkai ini. Kartini di era Orba lebih dikenang sebagai seorang ibu dan ditempatkan sebagai contoh ideal bagi ibu-ibu yang mengabdi kepada bangsa.

Potret ini kental diusung oleh organisasi perempuan korporatis (seperti Dharma Wanita dan Ibu-ibu PKK). Mereka bertanggung jawab dalam pelaksanaan program negara seperti Keluarga Berencana dan kesehatan anak. Mereka juga memiliki beban untuk menanamkan ideologi negara dan keutamaan kewarganegaraan perempuan dalam tugas dan pengasuhan seorang ibu.

Acara-acara yang mempromosikan busana perempuan, khususnya kebaya, awalnya diinisiasi oleh organisasi-organisasi ini. Inspirasinya datang dari foto Kartini.

Pakaian kebaya, dengan sanggul ‘palsu’ atau konde, disertai dengan sepatu hak tinggi menjadi kombinasi yang mentradisi. Citra Kartini di rezim ini dipotret sebagai istri dan ibu yang bertanggung jawab melaksanakan tugas domestiknya, walaupun pada kenyataannya Kartini mengalami nasib tragis –meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Semakin lengkap lagi ketika tradisi berkebaya diiringi pula dengan tradisi yang sangat domestik lainnya, seperti lomba bayi sehat dan lomba memasak.

Di tahun-tahun terakhir Orde Baru, mulai muncul suara-suara yang mempertanyakan kebijakan rezim terhadap kemajuan perempuan. Fakta di lapangan tentang nasib buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Timur Tengah dan Asia Timur, dan perlakuan buruk terhadap perempuan yang bekerja di pabrik, merupakan pukulan yang menohok.

Pada tahun 1995, aktivis hak-hak perempuan memilih merayakan Hari Kartini dalam bentuk yang berlawanan dari tradisi parade berkebaya dan lomba masak-memasak. Mereka memulai perayaan dengan “ziarah” ke makam Kartini di Rembang. Mereka melakukan orasi dan menggelar berbagai atraksi, menggambarkan para pria yang memperbudak wanita.

Protes ini hanya sebuah ‘pemanasan’ bagi sesuatu yang lebih ekstrem lagi di era reformasi. Pada Hari Kartini pada tahun 1998, hanya satu bulan sebelum Soeharto mengundurkan diri, perayaan Hari Kartini kembali menjadi hari untuk memprotes isu-isu kontemporer tentang eksploitasi ekonomi serta posisi sosial perempuan.

Karena kritik terhadap tradisi berkebaya, di era reformasi Hari Kartini berubah menjadi tradisi berbusana daerah. Hal ini tampaknya didasarkan pada semangat desentralisasi dan kritik publik terhadap dominasi Jawa dalam berbagsa. Di titik ini, perayaan Hari Kartini dapat dikatakan kembali ke akar pencalonan dirinya sebagai pahlawan nasional. Yaitu sebagai pahlawan bangsa yang berfokus pada posisi sosial perempuan.


* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*