Oleh: Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com – Anak-anak sering memberi nama kepada benda atau mahluk yang dekat kepadanya. Boneka pandanya diberi nama Tesar karena bertelinga besar. Kucing tetangga dia panggil Anduk karena bulunya seperti handuk ibunya. Pohon di depan rumah diberinya nama Big Brown, si coklat besar.
Penamaan itu begitu saja, acap kali tidak ada pedomannya. Satu-satunya alasan ialah karena mahluk dan benda itu dekat dalam kehidupannya, menjadi bagian hidupnya dan ia tidak ingin melupakannya. Bagi anak-anak, semua mahluk punya nama.
Dalam praktik menulis, khususnya tulisan feature popular yang mengangkat tema human interest, nama juga sangat penting. Kegagalan menyebut nama dapat mengganggu otoritas sebuah tulisan. Pertanyaan retoris “What is a name” nya William Shakespeare tak berlaku di sini. Nama itu penting.
BACA JUGA:
- Karena Alam Hanya Menjalani Fitrahnya
- Catatan Pendidikan Hardiknas 2019: Handayani
- (Mengharapkan) “Midas Touch” dari Seorang “Silver-Spoon Kid”
- OPINI: Urgensi Menata Pipa dan Kabel Bawah Laut dengan Peta Laut
- OPINI: TNI dan Sebaran Hoax di Medsos
Pada kenyataannya, gagal atau lupa menyebut nama sering terjadi yang berakibat lemahnya kredibilitas tulisan. Tidak hanya oleh penulis pemula, juga oleh mereka yang sudah berpengalaman.
Misalnya, pernah ada selebriti yang berkisah panjang lebar tentang keterlibatannya membantu anak-anak di sebuah desa terpencil. Dalam tulisan itu, diceritakan kedekatannya dengan mereka, bocah-bocah dan penduduk setempat dan bahkan dikisahkan juga bahwa ia tinggal bersama dengan mereka.
Satu hal yang ia lupa, tak sekali pun ia menyebut nama anak-anak yang ditolongnya. Padahal foto-foto yang ia sajikan memperlihatkan dirinya berswafoto dengan anak-anak itu. Tidak satu paragraf pun ia dedikasikan untuk memperkenalkan satu atau lebih anak-anak tersebut.
Ini mendatangkan pertanyaan sejauh mana ia terlibat (enggage) dalam kisah yang ia tulis. Sejauh mana intensitasnya berinteraksi dengan subjek dalam ceritanya bila ia tak memberi perhatian untuk menyebut satu nama saja dari mereka. Ini bisa mendatangkan pertanyaan apakah betul ia hidup akrab dengan anak-anak yang dikisahkannya, atau hanya bertindak sebagai outsider, sekadar turis yang melintas dalam kisahnya?
Nama sangat penting. Sebuah cerita akan terasa jauh lebih hidup bila ia diisi oleh subjek bernama ketimbang hanya somebody. Penulis juga akan lebih mudah membangun cerita dengan adanya subjek bernama. Di atas semua itu, penyebutan nama menunjukkan penghargaan dan kepedulian penulis pada narasumber kisahnya.
Adakalanya muncul hambatan untuk menyebut nama. Oleh karenanya perlu kreativitas untuk mencari terobosan. Dalam berita kriminal, seringkali korban dinyatakan dengan: sebut saja namanya Bunga. Ini dipakai untuk menyiasati perlunya melindungi identitas korban.
Dengan menyandang sebuah nama, sang subjek jadi lebih berjiwa. Penyebutan nama juga memberi kemudahan bagi penulis untuk membedakan satu subjek dan subjek lainnya manakala tokoh dalam tulisanya lebih dari satu.
Mengapa kerap terjadi sebuah kisah tanpa nama?
Ada berbagai kemungkinan. Pertama, penulis terlalu fokus pada jalan cerita sehingga lupa pada aktor-aktornya. Ibarat menonton pertandingan sepakbola, ia terlalu asyik menggambarkan bagaimana terjadinya gol, hingga lupa mencatat siapa yang menendang bola masuk menembus garis gawang.
Kedua, adakalanya muncul keenganan untuk menanyakan nama seseorang secara langsung. Ada rasa tak enak, menyangka bahwa narasumber akan merasa terintimidasi bila mendapat pertanyaan tentang identitas. Keseganan ini harus dibuang. Bagaimana pun keadaannya, menanyakan nama (dan mencatatnya) merupakan hal yang sangat esensial dalam mengumpulkan bahan tulisan.
Ketiga, keteledoran (recklessness). Adakalanya kita menunda pertanyaan tentang nama itu sampai akhir wawancara. Kita menganggap menanyakan nama tidak terlalu penting dan karena itu nanti saja belakangan. Dan akhirnya terlupa. Ini sering terjadi dan sudah menjadi kisah konyol klasik di kalangan pewarta.
Ada seorang reporter berkisah, laporannya berupa wawancara yang sangat panjang dirobek-robek oleh redakturnya. Padahal isi wawancara itu sangat bagus dan dipuji oleh sang redaktur. Yang jadi masalah ia lupa menanyakan nama sang narasumber yang ia wawancarai secara doorstop pada sebuah resepsi yang diadakan satu bank besar. Ia hanya tahu bahwa narasumbernya itu direktur sebuah bank. Ia lupa menanyakan namanya, lupa menanyakan direktur bidang apa. (Peristiwa ini terjadi ketika Google belum lahir dan nama-nama direktur bank hanya bisa dilihat di buku laporan tahunan bank yang terbit setahun sekali). Akibatnya wawancara itu menjadi tidak bernilai sama sekali.
Akhir kata, semua mahluk punya nama. Berilah jiwa pada para subjek dalam cerita yang Anda tulis dengan menyebut nama mereka. Jangan ragu menanyakan nama orang yang Anda wawancarai. Itu akan menjadi indikator sejauh mana seorang penulis terlibat pada tulisannya.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Leave a Reply