JAKARTA, KalderaNews.com – Sejak 2016 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Bangsa.
“Dalam membaca kita selalu terkendala. Rata-rata dalam Ujian Nasional (UN), anak bisa menjawab soal bahasa Indonesia hanya 60 persen. Dengan wacana atau teks yang agak panjang lebih kedodoran. Ini disebabkan aktivitas bacanya kurang,” tegas Kepala Balitbang Kemendikbud, Totok Suprayitno di Jakarta.
“Jujur saja, salah satu persoalan kita dalam dunia literasi yaitu akses. Jumlah murid itu naik terus, tetapi persoalanya ada pada literasi ini, apakah ini merupakan literasi sains, atau apa. Tetapi, ini semua awalnya dari membaca.”
BACA JUGA:
- Di De Britto, Perbedaan itu Tidak Hanya Diterima, Tapi Direngkuh dan Dirayakan
- PLN Rekrut Mahasiswa D3 dan D4 Ikatan Dinas di 5 Kampus
- Penerima Beasiswa StuNed 2019, Muda dan Berkarakter Entrepreneurial
Bagaimana bisa paham sains kalau memahami kalimat saja tidak bisa? Apalagi membedah implisit yang tidak tertulis, dan ini banyak terjadi. Jadi, literasi membaca itu merupakan awal untuk memahami ilmu-ilmu yang lain. Kalau ini saja problematik maka jangan berharap literasi yang lain juga akan baik.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Emi Emilia, mengatakan bahwa guru seharusnya lebih memahami teks bacaan sehingga dapat memberikan penjelasan yang mendalam kepada murid.
“Yang paling penting juga mengenai pemahaman guru, mengenai pemahaman teks ini yang belum. Misalnya ini lho teks eksplanasi. Jangan ketika diminta untuk berargumen, kok kita malah mendeskripsikan, diminta untuk memberikan instruksi malah justru mendeskripsikan.”
“Dengan adanya hal ini perlu adanya guru yang pintar dan ini perlu dilatih mengenai hal-hal ini. Jadi, untuk guru harus dilatih untuk lebih meningkatkan pemahaman teks,” imbuhnya.
Sementara itu, Nirwan Ahmad Arsuka, menjelaskan bahwa sumber masalah terbesarnya adalah adanya mitos bahwa minat baca anak Indonesia itu rendah.
“Kemendikbud adalah salah satu agen yang sering mengulang-ulang mitos tersebut. Kemudian ditirulah oleh banyak selebritis ini, termasuk mbak Najwa dulu, kemudian belakangan kita tunjukan bahwa sebenarnya baca anak Indonesia itu tinggi, hanya bukunya saja yang tidak ada,” kata Nirwan.
Peran serta masyarakat saat ini dalam memajukan literasi sangat besar. Warga yang selama ini jadi objek saja, sekarang sudah jadi subjek. Mereka bisa menyumbang bambu, atap, dan bikin perpustakaan di kampung-kampung. Bukunya siapa yang menyumbang? Sebagian ada anak-anak yang pulang atau yang bekerja di Jakarta, TKW-TKW di Hongkong misalnya, itulah yang demikian yang mengirim buku ke kampung-kampung.
“Banyak warga yang dulunya tidak sekolah dan merantau kini mereka menjadi penyumbang untuk membantu sosial masyarakat. Anak-anak ini barangkali tidak terlalu istimewa di kota, tetapi di kampung-kampung menjadi tokoh masyarakat. Karena mereka bisa mengajak warga untuk membangun perpustakaannya,” jelas Nirwan. (ML)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply